"Ma..."
Suara mesin kardiogram berdenyit, memenuhi seisi ruang rawat tempat di mana seorang wanita berbaring setengah tersadar. Di balik selimut garis-garis putih abu-abu, wanita itu adalah sosok yang amat Anjela kenali di sepuluh tahun yang lalu. Refleks, ia pun mendekat dan terkesiap dalam diam.
"Nino... kamu sudah ketemu..."
Nino, teman sebangku dari SD, SMP, dan sekarang, berakhir menjadi Engkong-nya di perusahaan tempat ia bekerja mendekat ke samping ranjang.
"Ma, ini Anjela—"
Dengan susah payah Tante Heni mengangkat kepalanya yang dibalut lapisan kasa. Untuk sedetik, Anjela berusaha memahami situasi dan kondisi yang dimaksud Nino. Sudah hampir sepuluh tahun ia tidak bertemu mama Nino—yang notabene, kalau dulu waktu sekolah, Anjela sering banget lihat wanita kurus dan cantik ini sehat bugar menunggu di ruang tunggu para ibu-ibu yang mau menjemput anaknya. Dan karena Nino dan Anjela satu kelas, Tante Heni adalah sosok yang paling senang membanding-bandingkan nilai Nino dengan Anjela. Padahal sudah jelas sekali, Anjela selalu jauh di bawah prestasi Nino di kelas.
"Halo tante..." lirih Anjela yang memaksakan senyum. Ia sedikit melirik ke arah Nino—bos-nya sekarang.
Sebelum ia turun dari mobil, Nino tidak mengatakan apa pun atas alasannya kenapa membawa Anjela ke rumah sakit. Pertama, Anjela menduga akan ada meeting dadakan yang harus ia datangi, dan karena sekretarisnya juga sedang cuti beberapa hari ini, alhasil Nino selalu menyuruh Anjela untuk masalah di kantor. Dan meeting dadakan sudah seperti makanan sehari-hari untuknya.
Tapi ketika mobil Nino berbelok ke rumah sakit yang tidak jauh dari kantor, mendadak Anjela kebingungan dan bertanya-tanya. Hanya saja, sesuai dengan karakternya, Nino tidak buka penjelasan apa pun atas apa yang terjadi saat ini.
"Tante... nggak pa-pa?" tanya Anjela pelan sambil mendekat dan meraih tangan Tante Heni yang sedikit gemetar waktu hendak menjangkaunya.
Beberapa selang infus ditusukkan ke tangan kanannya. Di samping ranjang juga ada kabel-kabel denyut jantung yang ditempelkan ke dalam piyama pasien yang dikenakan Tante Heni.
"Anjela... tante senang bisa dengar suara kamu. Sayang sekali, kamu pasti berubah banyak ya?"
Menyadari sesuatu yang janggal, Anjela memperhatikan wajah Tante Heni, khususnya di bagian matanya. Tatapan Tante Heni tidak mengarah padanya, melainkan memandang kosong ke atas langit-langit kamar. Anjela mengerjap tersadar, ia melirik Nino yang terdiam di tempatnya tanpa mengatakan apa pun.
"Ehm... nggak juga kok..." Anjela mengusahakan suara tawanya terdengar. Rasanya bodoh banget sih, tapi kalau menduga Tante Heni ternyata tidak bisa melihat...
"Maaf ya, tiba-tiba manggil kamu dalam kondisi begini. Nino cerita sama kamu soal kondisi tante?"
Anjela hendak menyemburkan jawaban sebelum mata Nino memelotot. "Eng—oh—i... iya, cerita tante." Anjela menggigit bibir bawahnya sambil melengos ke arah lain. Pegangan Tante Heni semakin erat. Wanita itu tersenyum lembut.
"Sejak Om Gunawan meninggal dan tante jadi buta, semua wasiat yang dititipkan Om Gun jadi dipegang sama tante. Perusahaan tempat kamu bekerja itu kan punya papanya Nino, jadi, sudah saatnya dialihkan ke Nino secara hukum. Sayangnya, di surat wasiat itu, Om Gunawan bilang kalau Nino harus sudah menikah sebelum benar-benar memegang jabatan perusahaan. Selama ini Nino memang punya pacar dan sering ajak tante jalan-jalan tapi, jujur aja, tante nggak sreg sama pacarnya. Dan karena itu, tante mau nanya sama kamu."
Kalimat selanjutnya adalah kalimat yang membuat degup jantung Anjela mendadak berdentam-dentam keras. Ia melirik Nino yang menatap ke luar jendela. Pikirannya seolah terlempar jauh ke lautan kota di luar sana. Sementara di sini—dengan sentuhan lembut dan genggaman erat Tante Heni, Anjela terjebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titah Agung
RomanceCompleted Pria idaman Anjela adalah seorang protagonis yang sering muncul di K-drama. Memang mustahil sih buat dapatin cowok sesempurna dan seindah di drama, tapi kalau usaha, nggak ada yang halangin, kan? Sayangnya, kehidupan Anjela sebagai penulis...