Anjela berdiri di bawah kanopi halte yang ada di Tomang-Mandala. Menunggu bus arah Harmoni, ia bersandar di depan pintu. Karena bentuk haltenya ada di tengah bahu jalan—arus mobil yang melintas meninggalkan sisa hempasan angin di depan wajahnya. Ia mencengkeram tas tangannya dan meratapi langit sore yang tenggelam di antara gedung-gedung perkantoran.
Siapa kira kalau hari ini akan ada keresahan yang meresap bersama sore?
Siapa yang menyangka kalau Anjela harus memikirkan pernikahan—hal yang selalu ia hindari setiap mama membicarakan itu?
Padahal baru beberapa minggu yang lalu, ketika Anjela duduk di sofa, makan lalapan dan tahu goreng bersama mamanya, sama-sama menikmati akhir pekan sambil menonton drakor, tiba-tiba, hari ini, ia sudah menandatangani surat kontrak dan bersiap menikah?
Jika pernikahan itu jujur, mungkin akan terasa bahagia, seperti Julia yang katanya minggu lalu sudah melakukan pelamaran. Tapi buat Anjela? Pernikahan ini seperti gali lubang tutup lubang. Buat masalah Nino mungkin bisa terselesaikan, tapi buat Anjela sendiri?
Ia jadi memikirkan dirinya enam bulan yang lalu. Yang masih sibuk menulis dengan tekun di beberapa platform, menyebarkan karyanya hingga disukai para pembaca dan membuat namanya melejit hingga karirnya dalam dua tahun terakhir menjadi sebuah posisi paling nyaman untuk hidupnya. Tapi buat mama, posisi itu tidak pernah aman. Karena dengan keinginan mama, Anjela pun keluar dari zona nyaman dan masuk ke Perusahaan Holamp, tempat Nino bekerja.
Tempat teman sebangku yang dulu ia kenal, tapi sekarang berbeda.
Betapa manipulatifnya Nino? Kadang-kadang kalau mengingat masalah keluarganya yang masih menjadi misteri buat Anjela, ia merasa dirinya sedang dijebak. Di mata Anjela, selama ini, Pak Husein, Direktur Utama yang jarang terlihat tapi namanya selalu dipuji Om Gun jika sedang rapat bulanan bersama seluruh staf kadang-kadang membuat Anjela kagum.
Tapi siapa yang menyangka kalau Om Husein malah menjadi dalang dari masalah ini semua? Keluarga Nino tidak pernah bisa dilihat dari sampulnya. Mereka selalu menyimpan sesuatu. Sama seperti Nino yang enam bulan lalu menolak kalau mereka sempat berteman waktu SMP dan memilih berpura-pura tidak kenal. Kalau orang lain, pasti akan berpendapat, betapa sombongnya cowok itu. Tapi bagi Anjela yang sudah paham sifat aneh Nino, itu sudah biasa. Dan malah, ia tidak ambil pusing.
Ponsel Anjela mendadak bergetar dari saku kardigannya. Ia bergerak mundur sejenak karena terlalu berbahaya berdiri di tepi pintu halte sambil mengeluarkan ponsel. Ketika melihat nama yang terpampang di layar ponsel, ia mengernyit.
"Halo," katanya setengah tidak niat.
Dari ujung telepon, terdengar latar suara yang berisik. "Keluar dari halte. Gue di depan jalan."
Lantas, Anjela langsung mendongak dan menoleh ke kanan ke kiri. Tepat ketika ia menatap ke pinggir trotoar arah berlawanan dari halte, Anjela menemukan mobil Nino yang sudah tidak asing dua hari ini. Sedan hitam yang terparkir di pinggir jalan dengan bayangan Nino duduk di balik kemudi.
"Gue udah nanggung banget. Balik sendiri aja deh gue..."
"Ada yang harus gue bicarain. Penting."
Anjela menggerutu.
"Apa?" Nino bertanya.
"Iya-iya, gue ke sana." Saat Anjela menutup telepon, bus 5A arah Harmoni datang. Orang-orang yang sudah memenuhi pintu halte mendadak berdesakkan tak sabar ingin masuk. Anjela menghela napas, bikin dia sia-sia saja menunggu. Kenapa nggak kabarin daritadi, sih? Tapi Anjela hanya menelan gerutunya lagi dan berjalan keluar halte. Menyeberangi jalan lewat jembatan penyeberangan dan mengetuk kaca mobil.
Suara 'greg' terdengar. Ia langsung masuk ke mobil.
"Mau ngomongin apa lagi sih?" tanya Anjela sambil menarik sabuk pengaman.
Nino tidak menjawab langsung. Ia memutar kemudi, mengeluarkan mobil dari pinggir jalan dan menembus jalan raya ke arah rumah Anjela. Dulu, Nino sempat mengantarnya sekali dua kali karena lembur bersama mengerjakan proyek tender. Jadi ia sudah tidak asing lagi dengan arah jalannya.
"Besok lo udah harus pindah ke rumah utama gue."
Anjela terkesiap di kursinya. Jalan di sepanjang Tomang sedikit padat merayap. Mereka berhenti di depan lampu merah.
"Besok? Kenapa gue harus pindah? Kan lamaran aja belom? Setahu gue kalau orang nikah itu harus lamaran secara sah dulu—"
"Keluarga gue beda," potong Nino tanpa melepaskan pandangan ke depan. Hari ini kemeja hitam dengan kerah tinggi membuat lehernya sedikit terlihat jenjang. Poni rambut Nino yang terlihat hampir menusuk matanya yang kecil menutup sebagian ekspresi di wajah itu.
"Lagi-lagi keluarga lu. Setelah kemarin Tante Heni cerita itu, gue masih nggak ngerti seluruh ceritanya. Sama kayak sejak pertama kali lo ngajak gue nikah. Padahal jelas-jelas lo punya pacar dan jelas-jelas, posisi Celine sedang terguncang." Suara Anjela tanpa sadar berubah pelan. Seiring ia bicara, kilasan wajah Celine yang menangis di temaram lorong pendek rumah sakit terlintas.
"Nggak usah pikirin masalah itu. Gue udah atur semuanya."
Anjela tersenyum getir. "Kalau dipikir-pikir lagi. Semua keputusan lo terus yang nentuin. Gue harus nikah sama lo, gue harus ganti S&K gue. Sekarang gue harus pindah ke rumah lo. Lo sama sekali nggak mikirin perasaan nyokap gue yang lo bohongin, perasaan nyokap lo sendiri dan perasaan Celine. Kadang gue nggak paham, gimana rencana kita bisa berjalan lancar kalau semisal lo juga masih diam-diam ketemuan sama Celine?"
Ketika mobil berjalan lagi, Nino beralih menatapnya dalam sedetik. "Ngapain lo ikut campur masalah itu?"
"Sori ya, gue bukannya cemburu. Tapi kalau lo mau semuanya sempurna, pertemuan sama Celine seenggaknya lebih privasi, kek. Nggak di lorong rumah sakit juga."
Nino menarik napas panjang sambil dadanya mengembang. Anjela tidak melihat itu secara langsung, tapi duduk di sebelah cowok sedekat ini mudah sekali untuk tidak mendengarnya.
"Jadi lo nguping..."
Anjela mendengus. "Siapa yang nggak dengar kalau bisik-bisik di lorong sepi gitu..." gerutuan Anjela seperti bocah cilik yang habis kena omel ibunya. Tapi Nino tidak mengatakan apa pun selain mengemudi.
"Besok, di rumah utama, gue bakal ceritain semuanya. Kondisi keluarga dan rumah gue. Nyokap gue begini juga karena terlanjur udah membenci Celine dan nggak ada yang bisa memenuhi syarat wasiat kecuali menikahi seseorang. Dan waktu mama sebut nama lo, gue nggak mau nolak dan bikin dia tambah sakit."
Anjela terdiam di kursinya. Ia menatap langit sore yang terdapat semburat keoranyean. Sebelum melintasi stasiun Sudirman, mobil berhenti sebentar di depan toko roti. Nino bilang dia akan membeli untuk buah tangan mama Anjela. Tapi Anjela diam saja. Ia sudah terlalu lelah untuk menolak ini-itu. Dan membiarkan Nino keluar dari mobil, berjalan ke toko.
Dari kaca depan tempat Nino memarkirkan mobilnya, saat cowok itu hendak masuk, mendadak, cowok itu bertemu seseorang. Tepat di depan pintu toko roti, seorang cowok dengan rambut coklat keemasan dengan jaket kulit dan celana hitam yang tingginya tidak lebih dari kuping Nino baru keluar dari toko. Cowok itu mengatakan sesuatu sampai mereka tertawa. Seolah sedang bertemu teman lama.
Mereka berpelukan dan wajah Nino tersenyum lebar.
Anjela mengerutkan alis. Si cowok berambut coklat keemasan itu menatap ke arah mobil.
Menatap Anjela.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titah Agung
RomanceCompleted Pria idaman Anjela adalah seorang protagonis yang sering muncul di K-drama. Memang mustahil sih buat dapatin cowok sesempurna dan seindah di drama, tapi kalau usaha, nggak ada yang halangin, kan? Sayangnya, kehidupan Anjela sebagai penulis...