6 : Mungkin kebodohan

2.4K 225 4
                                    

Mereka sudah kembali lagi ke kantor sekitar pukul dua siang. Lewat dari jam makan siang satu jam lebih. Setelah memarkirkan mobil, Nino tidak mematikan mobilnya. Tatapannya tertahan ke kemudi stir sementara suara yang terdengar jauh dalam pikirannya terus-terusan menggema.

"Jangan dekat-dekat aku dulu untuk beberapa hari ini."

Suara Celine yang berputar seperti kaset rusak mendadak berhenti. Di sampingnya, Anjela mendorong pintu mobil yang masih terkunci. Nino menoleh dengan gerakan lambat seolah baru sadar kalau dari tadi ia semobil dengan perempuan itu.

Anjela menatapnya dengan kerut gusar. "Buka kuncinya."

Mobil masih belum dimatikan. Bukannya membuka kunci, Nino hanya mematikan mesin mobil dan melepas sabuk pengaman. Suasana kedap suara itu membuat keheningan meresap di dinding mobil. Kaca film yang gelap dari luar tidak membuat satpam yang berdiri di depan lobi basemen curiga sedikitpun.

"Empat tahun gue pacaran sama Celine," kata Nino pelan. Pikirannya menarik mundur kepingan bayangan ketika dirinya menyatakan perasaan kepada gadis yang selama sekolah membuatnya terpukau.

Caroline Celine adalah gadis berambut pendek yang jarang tersenyum, namun punya paras begitu lembut dan anggun. Karena kepintarannya dalam matematika, dia sering dijuluki Ratu Matematika. Dulu, waktu Nino sekelas dengannya tiga tahun di SMP—ia sudah jatuh hati setiap melihat Celine.

Bukan hanya dari parasnya. Meski bisa dibilang Celine diidolakan oleh cowok-cowok 'geng keras', begitu Nino menyebutnya karena ia juga tidak begitu dekat dengan geng mereka, Celine selalu pilih-pilih teman. Dia jarang kelihatan berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Malah lebih sering berkumpul dengan cowok-cowok dari kelas lain yang sesama klub matematika.

Dan beruntungnya Nino, gara-gara klub Matematika, ia jadi kenal dan bisa mengobrol lebih sering dengan Celine.

Celine bukan tipe gadis yang manja, lemah dan cengeng. Dia hampir mirip seperti Nino. Yang selalu menyimpan opininya dalam hati, tidak mengutarakan kejujuran dan lebih baik tersenyum sebagai tanggapan. Ia jarang memprotes, selalu mandiri dan selalu berpikir bisa mengatasi segala hal.

Sosok Celine yang dulu bagaikan peretas kesepian Nino. Meskipun orang-orang melihatnya aneh, termasuk Anjela ini, Nino merasa lebih baik begitu karena ia tidak membuat orang lain masuk ke kehidupannya di rumah. Keluarganya. Seperti titah ayah—tidak sembarangan mengenalkan orang luar ke keluarga mereka.

Tapi hari ini, ketika ia harus memutuskan keputusan paling bodoh—Nino merasa seluruh apa yang ia miliki selama empat tahun ini kembali seperti mimpi waktu dulu masih sekolah.

Bagaimana ia bisa menikah dengan Celine jika kecelakaan papa waktu itu disebabkan oleh telepon Celine waktu itu? Bagaimana Celine meraih kepercayaan mama kembali jika mama—benar-benar belum mengikhlaskan kejadian itu dan lebih memilih memutuskan hubungan Nino dengan Celine? Mungkin mama berpikir dengan mengusir Celine dari hidup Nino ia bisa terhindar dari peristiwa nahas itu. Tapi mama salah.

Dan sekarang Nino merasakan kebodohan itu semua sampai sulit berpikir.

"Lo pikir buat bilang nikah sama lo itu gampang?"

Anjela menggeser bokongnya di kursi jok sampai suara kain dari celananya menjadi bunyi paling berisik di tengah keheningan. Matanya memicing dan menghadap Nino sepenuhnya.

"Gue nggak peduli sama cerita lo dan Celine. Buka pintunya sekarang."

Nino melirik Anjela tanpa ekspresi, tapi tangannya menarik kunci di pintu sampai suara 'grek' terdengar. Anjela langsung berbalik membuka pintu, sebelum gadis itu benar-benar menapakkan kakinya di aspal basement, Nino mencengkeram pergelangannya cepat.

"Kecelakaan itu bukan hanya merenggut bokap dan keluarga gue. Tapi seluruh harta papa—sekarang hampir lenyap."

Anjela berbalik dan menatap Nino dengan kerut kesal. Ia mendengus sebal sambil menepis pegangannya.

"Nino—atau Pak Nino, hubungan kita sekarang nggak lebih dari bos dan karyawan. Kalau lo menyuruh gue nikah sama lo as employee, mendingan lo pecat gue."

Cengkeraman Nino lebih kuat, Anjela tidak mampu menepis itu.

"Gue harus ambil semua perusahaan bokap gue. Gue harus balikin apa yang seharusnya jadi milik gue."

Raut wajah Anjela pelan-pelan melunak. Ia menatap Nino yang tidak menyisipkan nada memohon seperti cowok lain yang sedang mengambek dengan simpatik. Anehnya, Nino selalu merasa kalau keputusan bodoh ini mungkin bisa saja disetujui Anjela.

Walau sudah terlalu lama, tapi memiliki teman sebangku sejak SD dan SMP cukup membekas bagi mama Nino. Bahkan ketika mama Nino sadar dari komanya selama hampir tiga bulan, permintaan pertamanya adalah nama Anjela yang disebut di bibirnya. Nama yang hampir tidak membuat Nino bisa mengingat masa lalu ketika sekolah dulu.

Sekarang, gadis yang menatapnya dengan kerut gusar itu menghela napas. "Jujur gue kaget sama masalah ini. Kecelakaan sampai bikin Tante Heni hampir buta—" Anjela setengah tertawa miris, "kok bisa-bisanya ya lo serba dadakan kayak gini? Rasa simpatik emang bisa dadakan, tapi untuk nikah—nggak segampang itu. Kalau lo mau bilang lo itu bos, gue nggak peduli. Kita lagi di luar kantor. Tapi kalau lo mau menggunakan jabatan lo, gue angkat tangan. Mendingan lo pecat gue daripada nikah sama lo."

"Jadi mendingan lo balik lagi jadi penulis platform kayak beberapa bulan yang lalu?"

Tatapan Anjela berubah tajam. "Emang kenapa jadi penulis platform?"

Giliran Nino yang mendengus. Ia menyandarkan punggungnya kembali ke kursi. "Kalau lo tahu apa yang nyokap lo bilang waktu minta gue buat masukin lo ke kantor ini—seharusnya lo malu."

Anjela beralih menutup pintu dan kembali menghadap Nino yang menatap depan. "Apa maksudnya? Mama gue bilang apa?"

"Untuk single parent semacam nyokap lo, kalau bukan ingat betapa nyokap gue dulu dekat banget sama nyokap lo, mungkin gue nggak akan masukin lo ke kantor. Yang anehnya, dulu gue bisa kasihan dan akhirnya terima lo."

"Nggak usah banyak cincong deh. Jadi penulis platform itu kenapa harus malu? Emang profesi itu kenapa?"

"Bukan masalah lo. Tapi nyokap lo," kata Nino sambil menatap gadis itu lurus. "Kalau lo lebih mikirin nyokap lo yang pengin lihat anaknya sukses lebih dari 'penulis platform' diakui keberadaannya dan paling penting—punya suami asli, bukan suami fiksi—harusnya lo sadar. Dunia ini bukan nyata di kata-kata novel lo. Tapi di depan mata lo."

Tatapan dingin Anjela berubah menjadi getir yang tak kasat. Ia membuang wajah sedetik sambil menggigit bibir bawahnya. Satu detik yang panjang terasa hening. Saat Nino pikir Anjela ingin mengatakan sesuatu, ternyata gadis itu langsung berbalik dan beranjak keluar mobil. Tanpa mengatakan apa pun membanting pintu, menutupnya dengan satu sentakan dan pergi dari pandangannya.

Dari kejauhan, Nino mengamati bayang-bayang Anjela yang berjalan masuk disapa oleh satpam di depan lobi lift. Gadis itu menunggu lift beberapa detik sebelum masuk. Karena lobi basement hanya dilapisi dinding kaca, Nino bisa mengamati itu semua dari jarak parkir mobilnya.

"Kalau bukan nyokap lo yang pengin lihat lo nikah, mungkin gue nggak akan berani bilang gini," sahut Nino pelan pada dirinya sendiri.

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang