27 : Terbongkar

1.4K 96 12
                                    

Sebelum Nino melihat siapa gerangan yang mampu membuatnya turun dari panggung pengantin, Nino sudah bisa menebak siapa orang itu. Lorong panjang yang ada di luar ruangan mengarahkan langkah Nino ke ujung sebuah kaca jendela yang menghadap persimpangan kota. Tidak jauh dari jendela kaca itu, ada seorang wanita berbalut gaun putih dari satin dengan rambut di kuncir membentuk tiara di kepalanya. Suara langkah sepatu Nino membuatnya menoleh.

Kening Nino mengernyit tapi Celine langsung berlari memeluknya.

"Celine—aku nggak boleh..."

"Ini semua salah aku, nggak seharusnya aku bilang ke Om Husein soal sandiwara kamu dan—"

Untuk sejenak, Nino bergeming namun matanya membeku. Di pundaknya, Celine mulai terisak.

"Aku emang bego. Bego banget sampai bisa nggak percaya sama kamu. Aku takut kamu bisa terlalu lama mengikuti permainan bodoh ini demi surat wasiat itu. Aku yang emang dari awal salah minta bantuan Om Husein buat bikin Tante Heni suka sama aku. Karena nyatanya... Om Husein ternyata mau menghancurkan kamu..."

Pelukan Celine mengerat, tapi Nino masih belum sanggup mengucapkan apa pun. Ia terlalu tertegun pada penjelasan Celine yang mendadak begitu.

Sadar dengan Nino yang bergeming lama, Celine pun melepaskan pelukannya. Gadis itu mendongak pelan, menatap mata Nino yang tak menunjukkan ekspresi apa-apa selain sendu tipis. Nino mengerjap pelan dan menatap Celine yang lebih pendek darinya.

Meskipun selama beberapa hari ini Celine sudah jarang ada di sampingnya, tapi Nino sadar kalau kadang-kadang ia merindukannya. Perjalanan yang harus ia kerjakan ini menuntut lebih dari sekedar pertemuan. Dan kadang, yang tidak ia pahami adalah perasaan cinta. Dulu ia begitu memuja wanita ini. Bagaimana Celine bertumbuh dalam hatinya, setiap hari, ia ingin bertemu Celine. Ia ingin ada di sampingnya, bahkan sebelum Nino benar-benar memulai permainan ini, ia selalu takut Celine tidak pernah percaya kalau ia mampu profesional terhadap keadaan.

Tapi nyatanya, waktu berbalik secepat itu. Waktu berputar tanpa melihat masa lalu seolah rodanya tidak lagi menggilas lumpur yang sama. Nyatanya sekarang, Nino malah merasakan hujaman perasaan yang sama seperti ketika ia mengetahui kalau rencana Om Husein itu bermula ketika Celine memintanya membuat Nino dan mamanya berpisah. Nino boleh membohongi perasaannya selama ini, bahwa yang ia inginkan adalah Celine, tapi nyatanya, ketika ia berusaha keras demi wasiat, demi papa dan demi mama yang masih terbaring di rumah sakit, ia begitu mengabdi pada keluarga ini.

Lebih dari perasaannya sendiri terhadap keegoisan dan ketidaksengajaan Celine.

"Nino?" Celine memanggilnya pelan.

Tanpa menjawab, Nino hanya mengulas senyum tipis. "Memang dari awal seharusnya aku nggak boleh memulai hal ini."

Celine memiringkan kepalanya sedikit. "Maksud kamu..."

Mata Nino beralih ke arah Celine, menatapnya dalam. "Seseorang pernah bilang ke aku. Kadang-kadang, kita hidup ini emang cuma harus memilih. Berada di batas seperti ini bikin aku sadar betapa aku nggak mau bikin papa kecewa. Hidup yang udah aku jalani hampir dua puluh tujuh tahun ini... semuanya karena keluarga. Tapi waktu mama membutuhkan aku, papa butuh aku, gimana bisa yang aku pilih itu kamu?"

Celine membulatkan matanya. Serpihan air mata terlihat samar-samar di ujung kelopak matanya.

Nino mengangkat satu tangan lalu mengusapkan jempolnya tipis dan mempertemukan dahi mereka. Sambil memejamkan mata, Nino berkata pelan, "aku pernah jatuh cinta sama kamu, Cel. Tapi aku nggak bisa bodoh lagi buat menghadapi Om Husein."

"Kamu nggak bermaksud buat putusin—"

Nino menatap Celine dari jarak dekat hingga ia bisa kembali merasakan napas berderu di antara mereka. Seandainya Nino tidak hidup atas tanggungjawab besar ini, mungkin ia tidak peduli dengan gadis yang pernah ia cintai ini menangis karena harus berpasrah pada takdir yang ia miliki. Tapi nyatanya, Nino hidup atas itu. Untuk berpijak seperti ini saja semua karena papa. Semua karena keluarganya.

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang