28 : Mengelupas pelan

1.3K 88 7
                                    

Saat Anjela keluar dari toilet sambil menyeret ujung gaunnya, saat itulah matanya langsung bertubrukan dengan sosok yang amat ia kenal. Dan itu bukan sosok yang bagus.

Mata Rafael terangkat ketika ia mendapati Anjela berdiri mematung di depan toilet dengan tangan mengangkat gaunnya. Di belakangnya, Celine ikut terdiam dan melotot kaget.

Rafael bersedekap sambil bersandar di lorong toilet. "Jadi kamu cuma pura-pura demi wasiat?"

Mulut Anjela menganga, ia tergagap beberapa detik sambil kerepotan memegang rok gaunnya. Rafael mendekat dan mendadak menariknya ke dekapannya. Mata Anjela membelalak kaget dan ia merasa seperti sedang dibekukan waktu.

Aroma tubuh Rafael yang begitu ringan menyebar di sekitar hidungnya. Rasa hangat dari dekapan Rafael membuat seluruh guncangan yang tadi Anjela rasakan secara aneh tiba-tiba menguap ke udara. Anjela terkejut pada beberapa rasa yang baru pertama kali ia cicipi.

"Rafa—"

"Aku kira kali ini aku bakal kalah lagi dari Nino," kata Rafael.

Anjela tergagap, bingung dan membeku di saat yang bersamaan. Rafael melepas dekapannya sebentar lalu menatap Anjela dari jarak dekat sambil tersenyum.

"Maksud kamu..." Anjela pikir Rafael bakal mengujamnya dengan ribuan tuduhan. Secara, Rafael putra dari Husein yang sebenarnya, yang tidak pernah tahu selicik apa ayahnya itu, pantas menegur Anjela bahkan lebih. Tapi sepertinya pikiran itu tidak ada di otak polos Rafael.

Rafael membuang wajah ke arah lain untuk beberapa detik mungkin merasa malu. Tapi ia kemudian mengangkat senyum dan mengambil tangan Anjela sambil meremasnya lembut.

"Waktu kamu bilang kalau seharusnya aku bisa nggak menuruti apa kemauan papa, aku sadar kalau selama ini aku nggak bisa bahagia karena itu. Hidup di keluarga sebesar ini memang banyak banget yang bikin aku sendiri nggak mampu buat aku kuasai. Terlebih untuk menjadi Nino. Aku nggak mampu. Tapi waktu kamu bilang kalau aku seharusnya bisa memilih, aku paham satu hal."

Dalam hati, Anjela mulai tidak bisa mendengar apa pun. Ia sudah menyerahkan segalanya pada Tuhan di detik ketika Rafael melanjutkan kalimatnya.

"Aku mau kamu ada di samping aku terus, Jel."

Dari belakang Celine beranjak dan menyela. "Rafa, kamu harus pergi. Anjela harus kembali ke dalam."

Rafael menatap Anjela dalam. "Entah sandiwara apa yang kamu jalankan dan kenapa kamu ada di keluarga ini, aku berterima kasih karena kamu, pikiran aku sekarang bisa terbuka."

Di mata Anjela, sosok Rafael yang selama ini sebagai pribadi ramah dan polos selalu membuatnya merasa nyaman. Tapi ketika cowok itu mengucapkan kalimat itu, Anjela merasa begitu ganjal dan ia tidak tahu harus menyahut apa. Ia seolah terjebak oleh topeng yang semakin mengerat lekat dalam wajahnya. Seolah topeng dari perjanjian yang ia buat dengan Nino malah berujung ke petaka-petaka yang lain.

"Jela," seseorang menyahut dari ujung lorong. Dari kejauhan, Anjela mendengar langkah seseorang mendekat. Ia menoleh dan mendapati Nino dengan balutan jas hitam keemasannya menghampirinya.

Mata Nino sempat beralih ke belakang Anjela, melihat ke arah Celine, tapi ia langsung beralih cepat dan meraih Anjela menjauhi pegangan Rafael. Saking tidak tahunya, Anjela tidak sanggup untuk menjelaskan dan biar Nino menariknya keluar dari segala kekacauan ini.

Ia sudah kacau, bukan?

Ia bakal gagal, bukan?

Rafael menatapnya dengan sendu, "kamu nggak bisa terus-terusan pakai topeng itu, Jel. Aku tahu kamu capek."

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang