24 : Perkara yang tidak mudah

910 81 7
                                    

Tidak ada yang bisa ditenang-tenangkan.

Seharian ini semuanya terasa kacau. Kedatangan Husein tadi siang benar-benar membuat semua orang di kantor jadi semakin menjadi-jadi. Terutama wanita muda dari perkumpulan penggemar Nino. Anjela diserang habis-habisan bahkan dia mulai dicurigai sebagai pelakor utama dalam hubungan Nino dengan Celine.

Jika saja Julia tidak membantu Anjela, mungkin Nino tidak tahu kalau masalah cewek-cewek itu semakin heboh. Dan akhirnya, untung saja, kembali lagi, Nino bisa menjadi solusi atas masalahnya sendiri.

"Hubungan kami nggak ada hubungannya dengan kalian. Jadi tolong jangan ganggu Jela sampai pernikahan kami tiba. Jika saya melihat ada satu laporan lagi, kalian tahu konsekuensinya."

Anjela menghela napas dan kembali menyandarkan diri di sofa panjang yang ada di kamar Rumah Utama. Sudah hampir dua puluh empat jam Anjela tinggal di sini, tapi Rumah Utama yang nyaris mirip seperti bangunan White House di Amerika membuat sebagian diri Anjela terkelupas pelan-pelan. Terutama dalam bersikap terhadap para pelayan.

Mama Anjela sempat menelepon dan mengatakan kalau ia akan menyiapkan gaun pengantin yang sudah diurus olehnya dan Tante Heni. Mengingat Tante Heni yang sakit, pasti semua pernikahan ini juga ditangani oleh ibunya secara langsung. Anjela selalu merasa lelah setiap kali ia harus menurut, mengatakan iya-iya saja padahal semuanya hanya tipuan.

Apa rumahnya enak?

Apa kamu nyaman tinggal di sana?

Keluarganya baik-baik, kan?

Mama khawatir kamu nggak bisa terbiasa, tapi lama-lama nyaman, kan?

Ya, ya, dan ya. Semuanya, ya. Anjela tidak bisa menyuarakan isi hatinya. Ia tidak bisa mengatakan kalau ia lelah. Ia takut, ia khawatir. Ia sendirian.

Dari balik tirai yang tidak tertutup, jendela kaca yang menampakkan pemandangan malam dari balik jendela itu menyerbu pikiran Anjela dengan seluruh bayang-bayang impian.

Menikah.

Sebenarnya, kenapa manusia harus menikah? Kenapa ada perayaan sakral itu? Kenapa karena itu, semuanya bisa menjadi jaminan bahkan uang, mampu menjanjikan itu? Sebenarnya, apa arti cinta bagi satu sama lain? Dan apa rasanya bisa mencintai orang asing di hidup kita?

Pintu kamar diketuk pelan. Anjela tidak menutup pintu, ia sengaja membukanya sedikit karena khawatir Nino yang sudah di ruangannya membutuhkannya. Tapi waktu Anjela menoleh, ternyata Rafael yang muncul.

"Boleh masuk?" tanya Rafael ramah. Hari ini ia mengenakan kaos lengan panjang yang pas di tubuhnya yang kurus. Rambut coklat keemasannya dibiarkan acak-acakkan. Aroma sabun menguar di sekitar tubuh Rafael ketika ia mendekat dan berdiri di depan pemandangan kota Jakarta.

Anjela menatap Rafael, "kamu udah ke makam Om Gun?"

"Udah. Nggak nyangka ternyata setahun itu lama. Aku masih merasa aku bisa melihat Om Gun di ruangannya."

Untuk sejenak mereka berdua terdiam. Dalam ingatan Anjela, Om Gun adalah sosok yang ramah dan lembut. Tapi kadang-kadang dia bisa sangat pendiam dan misterius, sama seperti Nino.

"Empat tahun kuliah di luar negri, aku nggak bisa pulang untuk sekedar menyapa beliau. Satu-satunya sosok Om paling pengertian yang aku punya. Sampai akhirnya harus tiada. Rasanya... separuh Rumah Utama ini kosong."

Rupa seperti apa sebenarnya keramaian yang pernah Rafael miliki? Anjela ingat foto kecil yang ada di lorong kamar. Foto keluarga Nino, Om Gun, Tante Heni dan Reno—waktu semuanya masih lengkap. Yang anehnya, walau Anjela pernah terjeda beberapa tahun tidak pernah bertemu Om Gun, sosok yang selama ini ia miliki terhadap pria itu terasa masih sama seperti dulu.

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang