35 : Titah Terakhir

5.7K 163 19
                                    

"Outsider", itu yang pernah Om Husein guraukan ketika papa masih hidup dan Nino sama sekali tidak merasa terganggu dengan sebutan itu. Kata Om Husein, kadang-kadang ada di lingkaran keluarga besar yang punya banyak tatakrama dan aturan di rumah membuat keluarga mereka terpisah dari keluarga pada umumnya. Dan yang menjadi spesial dari keluarga mereka adalah tidak ada orang lain di luar keluarga ini yang mengetahui apa sebenarnya yang dikerjakan keluarga Chang.

Sosok yang ada dan tiada di mata orang-orang dan penjabat di Singapore. Sosok yang kelihatannya menguasai sebuah negara namun sebenarnya hanya senang berbisnis dan sudah terbiasa dengan segala kekuasaan yang mereka jalankan tanpa berniat mengambil lebih.

Tapi ketika panggilan itu mendadak mendarat dalam hati Nino, semua rasa percaya diri yang selama dua puluh tujuh tahun ia miliki ini seketika lenyap dalam genggaman. Kenapa mama baru memberitahu ini sekarang? Kenapa semua ini harus terjadi sekarang?

Tinggal beberapa waktu lagi sebelum Om Husein melancar rencananya terhadap wasiat itu. Dan untuk sejenak, di detik-detik akhir ini, Nino merasa sangat lelah sampai rasanya ia tidak bisa menggerakkan kakinya.

Lorong tempat Nino berdiri menjadi tempat terakhirnya bergerak. Nino tidak sadar kenapa ia pada akhirnya berhenti di depan ruang kamar Anjela yang pintunya sedikit membuka. Tapi hatinya yang terlalu lelah sana sini sendiri yang menuntun sampai ke sini. Sampai ke tempat di mana paling nyaman Nino untuk melabuhkan segala keruwetan hidupnya. Nino jadi bertanya-tanya, kenapa ia bisa semudah itu melupakan Celine yang awalnya sangat sulit ia lepaskan? Kenapa hatinya sekarang jadi merasa lebih ringan ketika ia melihat... Anjela?

Ketika Nino membuka pintu, Anjela yang sedang berdiri di belakang jendela dengan gaun terusan sederhana berwarna hitam dan rok merah segera berbalik dan berseru, "Nino—" yang secara mengejutkan berlari ke arahnya dan memeluknya.

Nino sedikit terhempas ke belakang, tapi ia menyambut Anjela secara langsung. Untuk beberapa detik, aroma sabun gadis itu membuat kepalanya ringan dan tanpa sadar membuatnya tidak ingin melepaskan pelukan ini.

"Eh... sori—" Anjela hendak melepaskan pelukan itu tapi Nino menahannya.

"Tahan dulu, Jel. Biarin gue begini sebentar. Gue capek..."

Tubuh Anjela mendadak terasa kaku dan kikuk. Tapi Nino tidak peduli. Ia tidak mau lagi berpura-pura tidak butuh siapa pun karena pada akhirnya, setiap orang yang kita temui—pasti punya cerita sendiri. Dan bagi Nino, bagian Anjela sudah ada sejak dulu ia mengenalnya. Tidak sulit untuk Anjela mengikuti arus itu ketika Nino mengundangnya kemari dan Nino memang tidak salah.

Ia tidak menyesal telah mengundang Anjela pernah ada di bagian cerita ini. Hanya saja...

"Sebelum gue menjelaskan semuanya, gue mau minta maaf dulu. Buat perjanjian bodoh ini, buat semua wasiat tolol itu. Karena pada kenyataannya... gue udah kalah, Jel."

Anjela menarik tubuhnya sedikit memaksa untuk menatap Nino lekat-lekat. Matanya yang bulat dan bersinar di bawah terang lampu kamar membuat Nino terdesak ingin mengeluarkan kata-kata yang paling ia sesalkan. Jika saja ia tidak buru-buru. Jika saja ia bisa berpikir lebih panjang untuk tidak membuat perjanjian bodoh itu, bukankah ia tidak menyia-nyiakan waktu Anjela yang bebas begitu saja?

Sampai akhirnya gadis itu tidak bisa menolak semua paksaannya?

Makhluk macam apa Nino ini?

"Lo belum kalah, No. Kata siapa lo kalah?"

Nino menatap Anjela untuk kali pertama. Di bawah matanya yang penuh keberanian, Nino merasa seluruh tubuhnya tersengat sesuatu. Ini bukan kali pertama ia pernah mendapatkan tatapan itu dari gadis yang sama. Dulu, waktu Nino hampir menyerah saat menghapal pelajaran sejarah di SMP, Nino sempat mendapat kekuatan itu dari gadis ini juga.

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang