3 : Real Drama

3.5K 301 11
                                    

"Maksudnya apa sih? Lo jelasin dulu semuanya—"

Nino melemparkan jasnya ke sebelah tangan sementara tangan yang satunya dimasukkan ke saku celana. Di koridor panjang dan sepi, siang itu, di atas perut lapar Anjela yang masih meraung-raung, ia mengais penjelasan dari cowok super menyebalkan ini.

"Masih belum paham?"

Anjela membalalakkan matanya, "ya lo pikir? Baru aja enam bulan gue mulai kerja di tempat lo. Bahkan lo sendiri yang selalu bilang buat pura-pura nggak jadi teman lama. Oke, gue malah lebih leluasa karena dengan begitu gue bisa fokus kerja aja. Gue nggak pernah nanyain kabar keluarga lo, begitu pula sebaliknya. Dan sekarang lo nanya—gue belum paham? Nino, lo kan bos gue. Lo paham setelah dikasih tahu, bukan? Sekarang, kapan lo kasih tahu ke gue?"

Nino mendengus, "lo laper, ya? Mendadak bawel banget."

"Nino! Jangan alihin pembicaraan! Apa maksudnya kata-kata Tante Heni tadi? Sumpah kalau lo nggak jelasin juga—"

Cowok itu menghela napas lalu berhenti di tengah koridor yang sepi. Aroma obat sesekali melintas di hidung Anjela. Menggantikan rasa lapar menjadi rasa penasaran. Ia menatap lekat-lekat cowok di depannya.

"Keluarga gue kecelakaan satu tahun yang lalu." Nino berkata. Ada jeda beberapa menit sebelum Anjela menyambungkan tebakan lainnya dalam pikirannya sendiri.

"Bokap gue meninggal, adik laki-laki gue gagal kuliah karena kakinya patah, sementara nyokap—gegar otak, nyaris buta." Nino bercerita dengan nada datar tanpa kesan menyedihkan sama sekali. Bikin Anjela sampai terheran-heran. Seolah ia baru saja mendengar informasi tentang ratu semut yang habis kecelakaan. Seperti bukan pemberitahuan yang penting-penting amat.

"Terus, kok lo nggak ikut kecelakaan?"

Nino menatap dengan sorot dingin. Anjela tidak mengoreksi pertanyaannya.

"Mereka kecelakaan waktu mau antar adik gue kuliah, kebetulan gue nggak ikut. Tapi yang paling parah—ya bokap sama nyokap."

Anjela berhenti berpikir sejenak untuk menyambungkan keping-keping tebakannya di bawah rasa lapar.

Jelas selama ini Anjela punya kehidupan sendiri yang bisa dibilang tenggelam oleh sosialisasi. Sejak ia menulis cerita di salah satu platform berbayar—nama Anjela melejit dan karyanya disukai banyak orang. Ia tidak pernah berminat bekerja bersama orang-orang karena menurutnya, orang asing itu sulit dipahami dan ia tak jarang malas memahami orang lain. Bukan karena tidak mau bersosialisasi, tapi menurut Anjela, berteman dengan banyak orang itu melelahkan. Tapi mamanya selalu mendorong Anjela untuk meluaskan kehidupannya menjadi sesuatu yang 'normal' dalam pandangan umumnya.

Dan bertemulah ia dengan Nino—yang kini sudah berubah drastis bahkan bikin dia pangling sendiri. Mama sendiri yang mendapat koneksi dengan Nino duluan dan akhirnya, Nino—mungkin dengan terpaksa juga—menerima Anjela yang kebetulan lulusan Desain Interior. Sesuai dengan lowongan yang memang dibutuhkan, maka masuklah Anjela ke dunia yang diberikan mamanya.

Yah, namanya dikasih rejeki, Anjela juga enggan menolak. Dan memutuskan untuk mencoba bersosialisasi. Hal pertama yang ingin ia lakukan ketika bertemu dengan Nino adalah menanyakan dirinya dan keluarganya. Mengingat dulu, waktu masih sekolah mereka punya hubungan keluarga yang baik, jadi apa salahnya? Tapi waktu Anjela hendak bertanya, Nino yang sangat berbeda itu langsung memblokir pertanyaan dan membungkam Anjela tentang hubungannya di masa lalu bersama Nino. Seolah Nino sedang menutup masa lalunya dan menjadi seseorang yang berbeda.

Begitulah Anjela memaklumkan Nino—yang dipanggil Engkong oleh rekan kerja yang lain—sebagai sosok yang baru. Sosok yang membuat Anjela berpikir bahwa Nino yang menjabat sebagai Manager divisi lighting di perusahaan menjadi orang baru—yang sangat amat berbeda dari masa lalunya. Dan seperti itulah Anjela menanamkan mindset itu.

Hanya saja, detik ini, waktu tiba-tiba Nino menariknya keluar dari kantor dan mengajaknya ke rumah sakit, menemui mamanya—Tante Heni—dalam keadaan tidak bisa melihat, siapa yang bisa menolak kenyataan kalau Anjela hampir menganggap Nino bukan lagi teman masa kecilnya?

Dan ketika ia mendapatkan berita baru ini, siapa yang tidak kaget?

"Kenapa... apa nggak ada yang tahu soal ini?" tanya Anjela sedikit terbata karena masih sedikit tertekan dengan berita yang baru ia dapat.

"Nggak ada. Gue nggak pernah kasih tahu siapa pun soal keluarga gue. Kecuali Direktur Utama—Pak Husein."

Anjela menatap Nino yang berujar lurus. Nampaknya banyak sekali cerita yang sudah hampir tenggelam di dasar kehidupan Nino yang mungkin—nyaris dilupakannya.

"Tapi kenapa... tiba-tiba nyokap lo nyuruh gue nikah sama lo? Maksud gua kek—kenapa harus gue? Dan lo juga," tunjuk Anjela dengan dahi mengerut tak rela, "kenapa waktu nyokap lo bilang gitu lo malah diem aja? Bukannya selama ini lo sendiri yang selalu nyuruh gue pura-pura nggak kenal lo kalau di kantor?"

Nino sedikit menunduk waktu menatap Anjela yang lebih pendek darinya. "Karena wasiat. Gue harus dapatin wasiat itu sebelum Pak Husein dan keluarganya ngambil alih perusahaan. Dan seperti yang lo dengar sendiri. Di wasiat itu, gue harus menikah dulu sebelum bisa mengambil alih perusahaan."

"Lo punya pacar, kenapa nggak nikah sama dia aja? Kenapa harus sama gue? Dikata nikah itu kayak orang mainan ya? Gila kali."

Kali ini Nino menatapnya seolah-olah tidak ada kesan 'gila' sama sekali dalam ekspresi Nino selain keseriusan yang mendalam. Membuat Anjela diam-diam merasa kicut.

"Kalau gue bisa bikin mama percaya sama Celine lagi, mungkin gue nggak akan ajak lo nikah. Gue juga ogah. Tapi demi wasiat, gue harus nikahin orang."

Refleks, Anjela langsung menegapkan punggungnya. "Terus maksud lo—harga diri gue ini sebatas surat wasiat sialan lo itu, gitu? Eh, sori cari orang lain aja deh. Gue nggak mau ngerusak pengalaman nikah gue sama orang yang bukan gue suka."

Nino menahan Anjela yang hendak berbalik. "Jadi lo nggak mau nikah sama gue?"

Anjela membelalak bukan main. Ia seperti mendengar tawaran ikan di pasar tempat biasa ia membeli perlengkapan makanan mingguan. Semalam dia habis bermimpi apa sih dengar Nino—alias si Engkong ini mendadak melamar dia? Anjela menepis pegangan Nino dengan kasar.

"Lo coba pikir pertanyaan lo barusan. Kalau lo waras—'kalau' itu pun—lo bakal sadar betapa gilanya ucapan lu."

Anjela berbalik pergi dan menyusuri koridor panjang yang sudah bikin dia sesak jantung. Bagus si Engkong sudah tidak mengikuti dia. Tapi begitu ia sampai di lobi utama, di mana mobil-mobil bergantian memasuki area rumah sakit, ia baru sadar kalau tasnya masih di kantor.

Dan dia nggak punya ongkos balik.

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang