"Kita tidur di sini?"
Anjela memperhatikan ruang kamar yang lebar dan besar di depan matanya itu. Sembari Nino berjalan masuk dengan beberapa pelayan yang meletakkan baju ganti, dengan sopan, mereka satu per satu membawa masuk beberapa selimut dan menuangkan teh hangat.
Selepas resepsi yang melelahkan tadi, pukul dua pagi akhirnya Anjela kembali pulang ke Rumah Utama.
Tentu dengan segudang perasaan campur aduknya.
Para pelayan sudah melepas gaun pengantin–yang sudah tiga kali ganti–dan membiarkan Anjela hanya mengenakan gaun tidur panjang yang cantik. Beberapa pelayan bilang kalau semua gaun-gaun itu di impor langsung dari Singapore yang mana pembuatannya dibuatkan secara khusus untuk tubuh Anjela dan dari kain-kain pilihan. Tapi dari semua kejadian hari ini, sebenarnya ada kesan manis sekaligus pahit yang mengganjal Anjela.
Nino melepas dasinya dan duduk di tepi kasur besar dengan seprai putih itu. Ruang kamar ini pernah Anjela lihat ada di samping luar sebelum tangga lebar menuju ruang utama. Ia pikir ini kamar tamu atau semacamnya. Tapi ini malah dijadikan kamar pengantin. Pula, ruangan ini sudah dirancang sedemikian rupa dengan kain-kain dan bunga tanda ucapan selamat pernikahan.
"Nanti gue minta pelayan buat ambil kasur tambahan. Lo tidur di atas sini aja, gue di bawah."
Beberapa saat, Anjela meratapi punggung Nino dari belakang. Walau sepanjang hari ini ia selalu berdua, tapi mereka sama-sama tahu kecaman yang datang dan pergi. Terutama ancaman Om Husein.
"Tiga hari," gumam Anjela tiba-tiba. Membuat Nino berhenti melepaskan jasnya dan menoleh dengan sebelah wajah.
"Om Husein bilang dia udah tahu semua rencana kita. Sekarang, gimana kita mau dapatin wasiat itu kalau dia udah tahu?"
Seperti biasa, Nino tidak menjawab langsung. Ia melepaskan jasnya lalu melemparnya ke ujung kasur seolah tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
"Gue mau tanya satu hal," kata Nino.
Kening Anjela mengernyit. "Apa?"
"Sejak kapan Rafael tahu sandiwara ini?" Nino berbalik menoleh dan menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi. Rambut yang tadi disisir rapi ke belakang sudah turun menjuntai ke bawah, setengah menutupi mata Nino yang kecil. Bibirnya mengatup rapat, tidak ada tanda-tanda ia ingin menyela.
"Itu—gara-gara dia nggak sengaja dengar gue dan Celine ngomong di toilet..." mengingat kembali percakapannya dengan Celine di toilet tadi sedikit membuat Anjela malu. Kalau dipikir-pikir lagi, hal yang tadinya ia pikir mudah, namun nyatanya semua berbelok ke arah lain.
Nino menghela napas. "Terus lo juga suka sama Rafael?"
"Kok jadi bahas Rafael, sih?"
Mata Nino menajam. "Yang gue pikir sekarang adalah, kalau lo gagal sama pekerjaan ini, wasiat nggak berhasil gua dapatin, terus lo ke mana? Lo pasti ujung-ujungnya sama Rafael, kan?" saat mengucapkan itu Nino kelihatan tidak emosi sama sekali, tapi nada suaranya cukup meyakinkan Anjela bahwa Nino sebenarnya khawatir. Tapi kekhawatiran itu sangat tidak masuk akal. Buat apa Anjela beralih ke Rafael kalau dia tidak merasakan apa pun dengan cowok itu?
Anjela menghentakkan langkah lalu bergerak menghampiri cowok yang masih duduk di tepi kasur itu. Ia menahan napas kesalnya sambil menunjuk hidung Nino. "Lo orang paling bego, paling ribet, paling rempong, paling nyusahin yang pernah gue kenal! Sumpah ya, lo pernah mikir nggak sih seberapa stres dan tertekannya gue selama ini? Lo pernah mikir gimana jadi gue yang harus pura-pura terus selama dua puluh empat jam dalam seminggu? Lo pernah mikir gimana caranya—buat gue penipu jadi-jadian ini harus bantuin orang yang bahkan sama sekali nggak pernah mikirin karyawannya sendiri? Demi nyokap lu...." napas Anjela terasa sesak dan tanpa sadar, ia menangis.
Kenapa ia menangis?
Wajah Nino yang mendongak dan matanya yang dijatuhi sinar lampu kamar terlihat berbinar memesona.
"Demi nyokap lu yang selalu menghargai semua jerih payah lu, gue selalu berusaha kuat. Bahkan kalau lo tanya kenapa gue mau jadi bagian dari ini, gue nggak tahu, No... apalagi untuk kepikiran sampai suka sama Rafael..."
Sadar dengan air matanya yang berderai, Anjela refleks berbalik, tapi sebelum ia berbalik tiba-tiba tangannya dicekal dan Nino menariknya cepat ke dekapannya. Anjela terkesiap kaget ketika tangan besar Nino melingkar di pinggangnya.
Ada jeda panjang sebelum Anjela bisa benar-benar tenang dan menghentikan air matanya. Selama ini mungkin ia memang sudah melihat perbedaan dari hidup Nino sebelum ia benar-benar bertemu lagi. Nino yang dulu sibuk belajar, jarang bisa bergaul dengan geng cowok di sekolah, sekarang Anjela paham kenapa.
Karena semua kehidupan di dimensi yang berbeda ini.
"Waktu bokap gue bilang kalau gue harus meneruskan Holamp, ada ketakutan besar yang bikin gue selalu nggak bisa menerima kenyataan. Sejak kecil, gue selalu ikutin apa yang harusnya gue pelajarin supaya saat semua itu datang, gue siap. Bokap gue nggak pernah bosan buat kasih tahu ini dan itu. Nyokap gue selalu mendukung dan nggak pernah memaksa gue. Melainkan gue yang memaksa diri sendiri.
"Emang jadi penerus perusahaan itu enak, ya? Kadang, malah gue cuma mau jadi kayak lo. Yang selalu bebas berimajinasi dan berusaha sendiri dengan semua pikiran lo tanpa takut salah ini dan itu. Sayangnya gue nggak ditakdirkan begitu. Gue ditakdirkan untuk mempertahankan apa yang udah bokap gue kasih ke gue dari dulu. Dan waktu apa yang udah bokap gue perjuangkan mau diambil seenaknya gitu aja sama adiknya, apa gue bisa diem aja?
"Rafael nggak pernah tahu kalau Om Husein sejak dulu udah ambil penghasilan kotor dari perusahaan. Tapi nggak ada yang berani menegur, bahkan bokap gue, nggak mau negur dia, kenapa?"
Nino melepaskan dekapannya lalu mendongak menatap Anjela yang masih sesenggukkan pelan.
"Itu karena bokap gue mau Om Husein sadar bukan uang yang bikin kita benar-benar bertahan di suatu era. Tapi seberapa besar rasa cinta kita terhadap sebuah keluarga."
Perasaan aneh mulai menjalar di sepanjang kulit Anjela. Genggaman hangat Nino di tangannya kini membuahkan getir tipis yang membangkitkan degup jantung Anjela. Untuk kali ini, hanya kali ini saja, Anjela melihat sesuatu yang berbeda di mata Nino. Sesuatu yang terpancar sama seperti yang ia bilang waktu di panggung pengantin tadi.
Tatapan cinta.
Debar jantung Anjela semakin menyengat ketika Nino mengangkat tangan dan menghapus air mata Anjela dengan ibu jari. Otaknya menyuruh untuk menghindar tapi tubuhnya kaku seperti batu.
"Kita harus dapatin surat itu, apa pun yang terjadi," bisik Anjela tanpa sadar. Ada kalimat lanjutan yang samar-samar terucap dalam hatinya tapi tidak berani ia suarakan.
"Ya. Tapi janji satu hal sama gue." Nino menyahut sambil melengos.
"Apa?"
"Janji untuk minta sesuatu ke gue jika semua rencana ini berhasil, oke?"
Anjela terdiam untuk beberapa saat lalu ia mengangguk pun pelan.
***
duh, Nino makin ke sini makin ke sana ngga siii? sejauh ini, menurut kalian, mereka gimana gais? apakah bakal berhasil melewati sandiwara ini sampai satu tahun?
hehe ditunggu bab selanjutnya besok yaa🥰
bonus foto Rafael ganteng 🥺🫶🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Titah Agung
RomanceCompleted Pria idaman Anjela adalah seorang protagonis yang sering muncul di K-drama. Memang mustahil sih buat dapatin cowok sesempurna dan seindah di drama, tapi kalau usaha, nggak ada yang halangin, kan? Sayangnya, kehidupan Anjela sebagai penulis...