8 : Sandiwara yang disusun rapi

2.1K 172 8
                                    

"Kecelakaan? Ma—maksud kamu—mama kamu sekarang kondisinya sedang kritis?"

Di sampingnya, duduk Nino dengan tampang sedih yang ia buat-buat. Sebenarnya soal ekspresi, Nino tidak perlu usaha lebih untuk menunjukkan kesuraman dalam wajahnya. Secara gamblang Anjela bisa sebutkan kalau Nino jauh berbeda dengan wajah CEO yang tampan dan kalem pada umumnya.

Nino jarang sekali berekspresi. Ketimbang dingin, dia mungkin lebih seperti kanvas putih yang suci. Yang belum pernah terkena percikan cat dari warna apa pun. Seolah dari dalam hatinya, Nino sama seperti kanvas itu. Tidak punya emosi dan ketakutan tersendiri. Seolah seluruh hidupnya lancar seperti jalan tol tanpa suka dan duka.

Mirip persis seperti kekasihnya, Celine.

Gadis yang dari dulu dijuluki Ratu Matematika, si Putri Salju a.k.a Putri Es, begitu Anjela menyebutnya. Karena mereka sama-sama jarang sekali menunjukkan ekspresi. Dulu Anjela pernah membayangkan kalau Nino dan Celine berpacaran, mungkin mereka akan dikira sepasang patung berjalan. Tapi setelah semua itu berubah nyata, ternyata mereka lebih daripada patung.

Apalagi Nino.

Hanya saja, malam ini, yang sosoknya sekarang sedang duduk dengan tatapan getir yang ia buat-buat, berubah hanya dalam sekali putaran waktu.

Mama yang duduk di hadapan Nino berjengit kaget.

"Kenapa—kenapa nggak ada yang pernah cerita? Maksud tante—ini keadaan yang kritis, bukan?"

Anjela duduk si sofa paling ujung. Menggigiti kukunya dan memeluk kedua kakinya ke depan dada. Ia diam-diam memperhatikan wujud Nino yang masih memakai kemeja tapi wajahnya tetap secerah masa depan Indonesia. Ia sama sekali tidak terlihat lelah meskipun seharian ini sudah membuat hidup Anjela nyaris terjungkal.

Malah, Nino yang jarang berekspresi itu, selalu pandai mengendalikan situasi. Seperti saat ini.

"Tante tahu pasti tahu soal keluarga kami, kan? Berita kecelakaan ini aja sebenarnya nggak ada yang tahu. Dan kalau bukan hubungan yang aku dan Anjela jalani, mungkin aku nggak akan kasih tahu ini."

Anjela mengerutkan dahi sebelum mama melirik ke arahnya dalam sedetik.

"Hubungan? Maksud kamu?"

Ada jeda sejenak sebelum Nino kemudian bangkit dari sofa dengan gerak kaku. Cowok itu menghampiri Anjela dan mengulurkan tangannya ke muka Anjela.

"Jel, lebih baik kita bicarain ini sekarang," kata Nino.

Anjela kain mengerutkan alis. "Apaan sih lo—" sebelum bisa menepis kata-katanya, Nino keburu menyambar tangan Anjela dan setengah menariknya bangun. Anjela kaget dengan tubuhnya yang tidak bisa menolak gerakan itu dan dengan luwes, ia tiba-tiba sudah ditarik ke dekapan Nino.

Di dalam rangkulan singkat itu, mendadak, ia bisa merasakan tubuhnya membeku. Mama yang masih duduk di sofa membelalak kaget.

"Maaf nggak pernah bilang tante, tapi—aku dan Anjela sudah pacaran sejak ia datang ke kantor aku."

"Apa?" mama terperanjat.

Anjela memelotot kaget. Ia langsung melepaskan rangkulan Nino dan menatapnya sedikit mendongak.

"Jangan sembarangan lo ya—"

Dengan cekatan, Nino kembali menarik Anjela dan kini membungkam mulutnya.

Mama Anjela kian membelalak.

"Ini semua ide Jela. Dia yang nggak mau hubungan kita terekspos sampai buat waktu yang tepat aku sendiri yang bilang ke tante secara terbuka. Dan soal keluarga aku—"

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang