11 : Kejadian yang sebenarnya

1.8K 141 3
                                    

Tante Heni langsung bangkit terduduk ketika mendengar raungan parau mama saat mereka bertiga memasuki ruang rawat. Anjela mendesah dalam hati melihat mamanya langsung berlari ke ranjang pasien tempat tante Heni menatap kosong ke udara. Sementara mama berhambur dan memeluk wanita lemah itu, Nino seperti biasa, berjalan hening ke dekat jendela dan membuka tirainya.

Seketika kamar pasien jadi terlihat terang benderang.

Omong-omong, ini juga kali kedua Anjela bolos di jam yang sama seperti kemarin. Julia mulai bertanya-tanya kenapa mereka pergi tanpa membawa tas laptop dan kerepotan dengan kertas-kertas gambar menumpuk seperti biasanya. Tapi Anjela tidak bisa mengatakan apa pun untuk itu.

"Heni.... ya ampun, nggak nyangka gue lo tiba-tiba bisa begini. Ya ampun, Hen... lo kenapa? Kenapa lo bisa begini, Hen..." mama mengusap-usap pipi Tante Heni dengan telapak tangannya.

Jika Anjela mengingat lagi kenangan masa lalu waktu melihat kedua ibu-ibu itu saling mengobrol, mungkin ibarat musim dingin dan musim semi, mama adalah orang yang periang dan terbuka. Selalu bisa memicu topik obrolan dan membuat Tante Heni yang lemah lembut dan pemalu jadi ikut berbaur bersama ibu-ibu di tempat tunggu.

Kadang, kalau Anjela perhatikan sekarang, melihat sifat kedua wanita itu, jadi terasa nyata kalau Nino benar-benar mirip dengan Tante Heni.

"Anak gue belum cerita?" tanya Tante Heni masih menatap ke arah lain, bukan ke mata mama.

Mama duduk di tepi ranjang sambil memegang tangan Tante Heni. "Udah. Tapi gue pengin tahu kejelasannya. Katanya... kalian kecelakaan waktu pas keluar tol? Maksud gue, kenapa bisa? Gunawan kan orang yang cermat dan hati-hati..."

Tante Heni menunduk perlahan sementara senyum getir nampak di bibirnya. Kemiripan wajah Tante Heni dan Nino membuat Anjela kembali mengingat ekspresi sendu di wajah Nino semalam.

"Itu semua gara-gara panggilan masuk dari pacarnya Nino," kata Tante Heni dengan nada dingin. Anjela kontan melihat ke arah Nino yang bergeming.

Mama Anjela ikut menoleh sekilas tapi tidak mengatakan apa pun lalu kembali mendengarkan.

"Itu bukan sekedar panggilan, tapi... kami sedang bertengkar waktu itu."

Kilasan memori menghardik ingatan Tante Heni. Untuk hening yang cukup lama, Anjela bisa merasakan semua kilasan bayangan itu muncul di dalam mata kosongnya.

"Awalnya Gun nggak setuju Reno kuliah di luar negri. Reno baru menceritakan itu ke gue. Dan gue tentu senang dong dengar anak gue mau lanjutin pendidikan dan kebetulan dapat beasiswa karena Reno memang pintar secara akademik. Tapi Gun bilang..." napas Tante Heni tertambat sejenak, mama mengelus genggaman tangannya dengan lembut.

"Semua anaknya harus menjadi penerus perusahaan. Saat itu gue udah terlanjur kesal karena selama ini... sejak Nino mau berkarir sendiri di bidang percetakan, Gun nggak kasih. Alasannya karena Nino anak pertama dan ia adalah panutan untuk semua sanak saudara di keluarga besar kami. Yah, itu masih bisa gue maklumin. Walaupun dalam hati, sebenarnya gue tahu kalau Nino pasti kecewa. Tapi dia diam saja dan menerima itu semua."

Refleks, Anjela langsung beralih ke Nino yang berdiri dalam diam di belakang jendela. Matanya menatap jauh ke luar. Langit siang di luar sana tertutup awan putih tebal. Tadi pagi, setelah mengurusi kontrak, Anjela gagal mengetahui detail cerita wasiat dan keluarganya. Entah kenapa, dari dulu, setiap kali Anjela bertanya soal keluarga Nino, cowok itu pasti menghindar. Meski dia bilang akan menceritakannya nanti, tapi Anjela cukup kaget dengan cerita Tante Heni ini.

"Dan sekarang, waktu Reno yang mau menggapai impiannya, apakah selamanya harus kandas dalam aturan Gun sendiri? Kan nggak, dong? Emangnya setiap anak itu pion yang seenaknya bisa dia kerjakan? Aku paham maksud Gun bukan begitu. Tapi cara dia berpikir kalau keluarga adalah sesuatu yang membanggakan untuk dirinya dan nenek moyang, tapi tetap saja, Gun harus paham cara memahami keinginan anak."

Saat itu air mata Tante Heni sudah menggenang. Mama menarik tisu dari kotak di samping nakas dan memberikannya ke wanita itu.

"Kami bertengkar hebat. Sampai aku lupa kalau kita masih di mobil dan Gun sedang menyetir. Bahkan Reno ada di kursi belakang. Aku sampai berteriak dan menjerit, kesal karena keegoisannya. Kekecewaan Reno saat itu terasa nyata untukku. Tapi tiba-tiba Celine menelepon."

Nino bergerak di tempatnya dan mulai berjalan melintasi ruangan. Tanpa mengatakan apa pun pergi keluar dalam diam. Sementara Anjela terpaku di tempat untuk terus mendengarkan.

"Nggak biasanya Gun menerima panggilan ketika kami berkendara. Tapi waktu itu... dia terbawa emosi. Gue tahu dia kesal karena gue marah-marah tapi ini... kita bener-bener kehilangan akal sehat. Suasananya bener-bener buruk waktu itu dan pas baru diangkat beberapa detik, Gun nggak sadar kalau kita pas banget lewatin lampu merah di persimpangan Tomang. Dan pas itu, udah banyak banget bus dan kendaraan yang lewat..."

Pikiran Anjela yang menembus bayangan cerita Tante Heni mendadak membeku. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar. Sambil samar-samar, suara Tante Heni semakin terisak keras dan berkata, "saat itu gue nggak tahu kalau telepon Celine adalah satu-satunya penutup paling sempurna buat keluarga kita..."

Pintu ditutup, Anjela berbalik ke koridor kosong. Ia membeku di tempat beberapa detik. Mendengar isak tangis yang terdengar pelan dari dalam. Pegangan pintu terasa sedingin memori itu. Kalau kejadiannya benar begitu, bukankah nasib Celine benar-benar menyedihkan? Dia dipaksa putus dari Nino karena dia secara tidak sengaja membuat pertengkaran itu semakin sempurna.

Tapi, bagaimana dengan perasaan Celine yang sesungguhnya? Bagaimana dengan Anjela yang sudah menerima tawaran pernikahan itu sementara ia... harus menjadi satu-satunya orang yang mengacaukan hubungan Nino dan Celine? Anjela berbalik menyandar ke dinding koridor yang sepi.

Ia memejamkan mata sejenak dan merasa seluruh rencananya seperti sebuah masalah baru untuk keluarga mereka. Seandainya Nino tidak memilih jalur ini—memilih jujur kalau ia tidak bisa menikahi orang lain selain Celena, Anjela tidak akan ada di sini, memikirkan perasaan bersalah sekaligus ingin memperbaiki harapan Tante Heni yang jauh dari hidup kembali. Anjela tidak bisa mengembalikan Om Gun, tapi harapan di dalam surat wasiat itu, yang membuat Tante Heni berpikir bisa selesai, sebenarnya itu hanya alasan sementara untuk membuatnya lega.

Yang Anjela tahu persis, Tante Heni hanya marah pada Celine dan tidak terima kalau suaminya sudah tiada.

Dada Anjela terasa sesak untuk sementara waktu. Ia hendak ke toilet menyegarkan pikirannya. Tapi ketika langkahnya mendekat ke lorong arah tangga darurat—yang kebetulan berseberangan dengan lorong toilet, telinganya menangkap sebuah bisikan rendah dari dua orang yang sedang mengobrol. Sebelum ia membelok, Anjela memelankan langkahnya dan mendekat lagi ke pinggir tembok untuk mencuri dengar.

Ia mengenal suara itu dengan jelas.

Suara Celine yang menangis.

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang