5 : Nino dan titahnya

3K 225 8
                                    

       "Nggak."

    Anjela mengerjap sejenak lalu menurunkan tangannya langsung. Perubahan wajah Nino seolah mendadak berganti menjadi sosok yang selama ini ia gunakan ketika di kantor. Sosok yang selalu Nino latih sejak ia masih kecil—sosok yang membuat semua orang tidak pernah tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.

    Ia menarik Celine ke sampingnya setengah paksa lalu menatap Anjela yang terenyak.

    "Tunggu sini. Gue antar Celine dulu. Kita pulang bareng."

    Seolah tidak menerima penolakan, baik Celine pun ikut berbalik dan meninggalkan Anjela yang langsung mati gaya di depan kamar pasien. Nino setengah menarik Celine yang masih belum rela dengan pembicaraan yang belum selesai. Jadi sebelum mereka sampai ke parkiran basemen, sambil menunggu lift, Celine melepas pegangan tangannya dari Nino.

    Kabel lift yang berputar terdengar samar-samar. Menengahi keheningan.

    "Aku nggak mau. Aku nggak setuju, Nino."

    Tepat saat itu, lift berdenting. Pintunya membuka di depan mereka. Nino tidak menjawab, ia kembali menarik tangan Celine yang kembali mengikutinya.

    Di dalam lift yang bergulir ke bawah. Nino bisa merasakan desing hening yang bernyanyi seperti sayatan senar biola di bawah duka.

    Hubungan yang Nino mulai dengan Celine tidak hanya empat tahun dari total mereka resmi berpacaran. Jika dihitung-hitung, perasaan yang Nino tumpuk sejak mereka sekelas di SMP dulu sudah masuk hitungan juga. Pertama kali Nino menemukan seorang gadis yang sangat mirip dengannya—Nino sadar, tidak banyak orang yang punya pemikiran yang sama dengannya.

    Dan bertemu Celine, adalah salah satunya.

    Lift berdenting lagi. Kali ini mereka sudah tiba di parkiran basemen. Beberapa mobil berjajar rapi. Ada sekumpulan keluarga yang kelihatannya baru saja membesuk pasien. Ia dan Celine terus melangkah, menjauhi keramaian di depan lobi basemen. Menghampiri SUV putih yang terparkir sedikit jauh dari mobil lainnya. Basemen sedikit temaram, saat Celine memaksa melepas genggamannya, Nino berhenti di tempat, sedikit di depan Celine.

    "Kamu udah benar-benar mikirin ini secara matang? Kamu yakin, kamu bakal nikah sama Anjela?"

    Tipis saja, tapi suara Celine membuat hati Nino terasa kacau. Ia berbalik pelan menatap wanita itu.

    Mata Celine yang besar, di padu dengan bibir tipis dan wajah oval yang kecil—terlihat sangat putus asa. Rambutnya yang panjang dan bergelombang dengan poni tipis nampak sama frustasinya. Nino membenci pemandangan ini. Tapi ia lebih muak karena ia tidak bisa melakukan apa pun untuk hubungan ini.

    "Ini semua mama dan papa yang nentuin, Celine."

    "Seenggaknya kamu tahu hubungan kita bukan mainan, kan? Empat tahun kita pacaran dan itu bukan pacaran anak SMA lagi. Nino, terus hubungan kita gimana? Putus?"

    Nino langsung mengangkat matanya, "nggak," katanya tegas, "ini cuma satu tahun."

    Celine melangkah mendekat dengan tercengang. "Satu tahun?" tanyanya lirih.

    "Satu tahun—demi surat wasiat itu?" tanya Celine lagi kali ini sedikit tercekat. Matanya bergetar, Nino membuang wajah.

    "Surat wasiat itu adalah kunci untuk mengembalikan mama dan Reno, Cel. Dan papa... aku nggak mau titah papa yang terakhir malah sama sekali nggak bisa aku penuhi. Cukup sekali... aku menolak permintaannya, kali ini, aku harus menyelamatkan mereka."

    Napas Celine tercekat, ia menunduk, air mata yang menggenang di matanya menetes. Jatuh dan bergulir di pipinya. Nino tidak punya pilihan lain. Ia sudah tiba di jalan buntu. Bahkan sejak ayahnya meninggal—Presdir Utama perusahaan Holamp—Nino sudah tidak punya langkah lain selain surat wasiat itu.

    "Maafin aku," bisik Nino sambil menarik pundak Celine dan mendekapnya dalam. Celine terisak di dadanya.

    "Apa yang bakal keluarga kamu lakuin lagi? Apa yang bakal mereka ambil dari kamu? Duka dari kecelakaan setahun yang lalu aja belum terhapus, tapi sekarang—mereka masih harus memeras aku untuk ninggalin kamu? Kenapa keluarga kamu harus begini? Kenapa kamu nggak punya pilihan lain, Nino? Kenapa aku... nggak lagi dapat restu ini?"

    Suara putus asa Celine meresap ke hati Nino. Seandainya ia bisa menolak, seandai mama bukanlah wakil dari surat wasiat itu—seandainya mama—tidak tahu soal sebab musabab kecelakaan yang terjadi, mungkin ia bisa menikah dengan Celine. Tidak ada halangan yang lain—terutama berhubungan dengan Anjela lagi.

    "Dari semua orang... kenapa harus Anjela..? Kenapa harus dia yang mama kamu pilih?"

    Isak Celine semakin mendalam. Membuat Nino sulit melepaskan Celine. Entah untuk waktu yang berapa lama, Nino merasa cemas kalau hal yang ia takutkan ke depannya semakin menjadi-jadi. Berawal dari surat wasiat itu, kematian papa dan perusahaan yang mendadak diambil alih oleh Om Husein. Adik papanya. Sejak itu, semuanya berubah. Keuangan perusahaan yang seharusnya mengalir ke rekening papa malah tertahan di tangan Om Husein. Sementara pengobatan mama dan Reno yang masih harus terus melakukan pengeluaran jadi terganggu.

    Satu tahun itu, adalah waktu di mana Nino bersembunyi dari topengnya selama ini.

    Dari semua orang—bahkan sejak sepuluh tahun yang lalu.

    Titah papa yang tidak pernah ia lupakan; jangan beritahu orang lain tentang pekerjaan keluarga kita, jangan sembarangan berbicara hal-hal tentang keluarga kita ke orang luar, jangan urus masalah orang lain dan biar kita simpan sendiri masalah kita.

    "Keluarga kita ini menyimpan begitu banyak rahasia. Dan nggak ada yang boleh tahu kecuali orang yang paling kamu percaya. Nggak semua orang bisa menerima kehidupan kita seperti orang normal lainnya."

    "Mama sakit, Cel. Aku nggak mau menolak atau menepis lagi. Aku mau berhenti dan bikin perubahan, sekali ini aja. Kamu bisa sekali lagi mengerti posisi aku, kan?"

    Celine melepas dekapannya. Ia mendongak, menatap Nino yang lebih tinggi darinya dengan air mata bercucuran.

    "Jangan minta aku mengerti, Nino," Celine mundur selangkah lalu berputar menghadap mobilnya. Menjarakkan dirinya dari Nino untuk beberapa menit. Tangannya gemetar waktu membuka kunci mobil.

    "Jangan dekat-dekat aku dulu untuk beberapa hari ini," kata Celine sambil menatap dari ekor matanya. Dada Nino terasa sesak, tapi ia tidak bisa bergerak barang menahan Celine lagi.

    "Anggap aja, ini adalah latihan aku buat benar-benar melihat kamu nikah sama cewek itu."

    Setelah mengatakan itu, Celine mengentakkan langkahnya masuk ke mobil. Tak lama, mobil dinyalakan dan suara decit mobil Celine menyampaikan bentuk sampai jumpa. Nino memandang mobil SUV putih yang melaju menjauh. Meninggalkan Nino di tempatnya bersama serpihan sesak yang tidak bisa ia ungkapkan.

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang