30 : Wasiat

1.4K 91 2
                                    

Papa mengajukan surat itu ke hadapan Rafael yang duduk di depan meja. Ruangan papa Rafael tidak pernah berubah. Masing-masing putra dari Chang yang tinggal Jakarta punya sayap kiri dan kanan Rumah Utama. Karena sejak dulu kakek Chang selalu bilang; menjadi kompak dan saling menyayangi adalah kunci dari sebuah kesuksesan, maka mereka selalu melakukan hal yang sama ke setiap keturunannya.

Salah satunya juga, harta.

Tapi, entah kenapa, ketika harta itu turun dari kakek Chang ke Gunawan, Husein malah tidak mendapatkan sepersen pun. Yang membuatnya bingung, semua harta itu malah dilemparkan semua ke Nino dan Reno sebagai pewaris utama harta Holamp.

"Kamu ngerti sekarang?" tanya papanya waktu Rafael membaca seluruh isi wasiat itu.

"Kenapa Om Gun menyerahkan semua wasiat itu ke Nino? Dan bukannya papa juga bilang kalau penerus perusahaan ini justru aku?"

Tatapan papanya sedikit tertutup bayangan dari lampu temaram di ruangannya. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua dan satu orang asisten yang paling dipercayanya. Rafael mengernyit memandang papanya sendiri. Sambil menghembuskan asap rokok, Rafael memikirkan alasannya terlebih dahulu.

Selama ini, di mata Rafael, Om Gun adalah sosok yang paling ia hormati karena semua kerja kerasnya membangun Holamp di Jakarta sama persis dengan Singapore. Sebagai penerus, tentu saja ada banyak perkembangan dan inovasi yang bisa dilakukan. Jika PJU di Singapore hampir delapan persen dimiliki oleh Holamp, maka di Jakarta juga bisa, bukan?

"Memang bisa kamu, kalau kita tendang Nino keluar dari keluarga ini."

Seketika Rafael bangkit dari kursinya. "Papa apa-apaan, sih? Papa gila, ya?"

Seolah sudah tahu kalau anaknya bakal bereaksi seperti ini, Husein hanya menghela napas kecil sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara. Sebelah tangannya terangkat lalu asisten yang sedari tadi berdiri tak jauh dari sana beranjak mendekat.

"Tolong ambilkan dokumen yang kemarin saya minta."

Asisten itu mengangguk dan mundur ke belakang, hilang dari ruangan menuju ruangan yang lain. Rafael yang masih tidak percaya dengan rencana papanya itu langsung melempar surat wasiat itu ke meja.

"Maksud papa apa sih mau tendang Nino keluar dari keluarga ini? Papa nggak mikirin Nino yang baru aja ditinggal Om Gun dan sekarang Tante Heni bahkan masih di rumah sakit, buta..."

Papa menatap Rafael dengan sorot dingin. "Karena sejak awal Gunawan itu nggak pernah ada di keluarga ini."

Rafael terdiam bingung. Mulutnya terasa pahit beberapa saat. Ia mengerjap kaget. "Ma—maksud papa...?"

Tepat saat itu, asisten yang tadi disuruh papanya datang dengan sebuah dokumen di dalam map plastik hitam. Rafael mengamati papanya yang sibuk mengeluarkan surat-surat.

"Gunawan itu anak adopsi kakekmu," kata Husein sambil menyerahkan sebuah surat adopsi dari sebuah panti asuhan. Di atas surat dengan kertas khusus itu, semua keterangan adopsi, baik nama, umur dan tanggal lahir semuanya dibubuhi dengan tandatangan Kakek Chang. Pada keterangan data, di sana Om Gun diadopsi ketika umur tiga tahun.

"Kakekmu menghindari pernikahan dengan orang yang dijodohi sama kakek buyutmu. Kamu tahu, kan, segila apa kakekmu kerja? Dia merasa kalau nggak ada wanita yang mampu membuatnya lepas dari semua takdir ini selain nenekmu. Yang akhirnya ketemu berkat Gunawan ini."

Rafael masih meratapi kertas-kertas itu seolah tidak mempercayai ini semua.

"Nenekmu menikah setahun setelah kakekmu mengadopsi Gunawan dan lahirlah papa setelah pernikahan mereka. Nenekmu ini salah satu perawat di panti Gunawan. Kakekmu langsung jatuh cinta saat itu."

"Papa tahu ini semua darimana? Papa ambil ini diam-diam dari rumah kakek di Singapore?" tuduh Rafael dengan kening mengerut khawatir. Setahu Rafael, kakek yang sekarang ini sedang terbaring sakit di Singapore memang tidak ada di singgasana utama. Tapi tidak biasanya papanya bisa semudah itu memasuki area kerja terlebih mengambil dokumen penting ini. Lalu, jika misalnya Om Gun juga anak adopsi, ia sekarang sudah menjadi keluarga ini sejak awal. Bahkan tidak ada yang menganggap Om Gun berbeda sampai ia meninggal.

"Kamu nggak perlu tahu papa dapat ini darimana. Yang pasti, untuk mengambil apa yang harusnya papa miliki, papa harus mengorbankan banyak banget hal. Kalau bukan karena surat wasiat ini, mungkin papa nggak akan kasih tahu ini ke kamu. Dan untuk seukuran bukan anak kandung, nggak seharusnya dia memberikan semua hartanya ke anaknya. Dia bahkan nggak membagi papa, loh."

Rafael menjatuhkan dirinya duduk kembali ke kursi. "Kenapa... kenapa Om Gun malah nggak membagi harta...?"

"Udah jelas, bukan? Dia itu hanya orang luar yang sejak awal memang tahu kekayaan besar keluarga kita dan gimana dia takut itu membuat keturunannya nggak bisa dapat jaminan apa-apa atas kerja kerasnya selama ini. Makanya daripada membagi ke papa, dia kasih semua hartanya ke Nino dan istrinya. Bayangkan, kalau kamu jadi kakak, dan kakakmu nggak membagi harta papanya ke adik, gimana perasaan adiknya? Apalagi posisi kakaknya ini bukan anak kandung, apa yang adiknya bisa lakukan selain mengungkap kebenaran?"

Jauh dari sebelum Rafael bisa menebak ini semua, ia bahkan tidak percaya—sampai sekarang, kalau Nino bukanlah keturunan asli keluarga Chang. Tapi apa yang Rafael percayai sejak kecil, bagaimana perlakuan Om Gun kepadanya dan kebaikan yang selalu Rafael terima, itu semua jelas mendarah daging dalam darah Om Gun. Dan seharusnya Om Gun punya alasan tertentu untuk tidak membagi hartanya, bukan?

"Mereka pengkhianat, Raf," kata Husein pelan. "Kamu nggak bisa percaya sama Gunawan sementara kamu mengabaikan posisi papa—di sini sebagai anak kandung yang berusaha menegakkan keadilan."

"Tapi papa nggak seharusnya menendang Nino keluar dari keluarga ini. Gimana pun Om Gun udah berjuang banyak dan kakek Chang—"

"Kakek Chang sakit. Dia nggak berdaya untuk saat ini. Kamu pikir selama ini papa ambil kendali surat wasiat itu karena saksi utama—yang adalah kakek sedang sakit? Nggak, loh. Justru ini kesempatan papa buat memutar balikkan apa yang seharusnya papa terima."

Sepintas, Rafael jadi teringat kata-kata Anjela dan Celine di toilet tadi sore. Waktu mereka bilang kalau Anjela harus mendapatkan surat wasiat itu. Terpampang jelas bahwa syarat untuk meneruskan wasiat adalah jika sudah berkeluarga atau menikah. Alasan Nino menikah dengan Anjela memang hanya ingin mengambil surat ini, tapi kenapa Anjela harus mau melakukan ini? Kenapa Anjela mau mengambil pekerjaan kotor ini?

"Dan sekarang, si bocah sialan itu malah nipu papa dengan maksa nikah sama Anjela. Mereka pikir papa bisa dibohongi."

Rafel mengangkat matanya. Kadang-kadang ia tidak tahu apakah papanya sepenuhnya benar. Sejak mama meninggal waktu melahirkan, Rafael tidak pernah menemukan sosok ibu kecuali Tante Heni yang suka menjaganya selama ini. Untuk sesaat, entah kenapa Rafael malah merindukan sosok itu. Ia kehilangan arah dan ia kehilangan banyak sekali petunjuk terlalu jauh.

Sampai ia tidak tahu mana yang harus percayai.

"Sekarang, papa nggak tahu harus percaya sama siapa. Nino juga berkomplot dengan cara kotor. Demi kekuasaan dia mau melakukan cara apa pun. Keluarga ini kalau nggak dibereskan cepat-cepat, semua hartanya bakal turun ke orang yang salah. Apalagi kakek masih sakit."

Husein terdiam beberapa saat sementara Rafael tenggelam dengan pikirannya sendiri. Lebih tepatnya, ia tidak tahu harus mempercayai yang mana. Surat-surat di atas sana atau perlakuan Om Gun selama ini kepadanya. Jika Rafael harus memilih, ia bahkan tidak tahu apakah keluarga ini benar dengan cara yang mereka yakini.

"Rafael, papa nggak punya siapa-siapa selain kamu. Apa sekarang papa bisa, percayakan ini sama kamu?"

Bisakah Rafael menjadi seperti apa yang papanya inginkan sekali lagi?

Dan jika Rafael memang menginginkan itu, kenapa dia terlalu terjebak dalam ketidakyakinan sejauh itu?

***

kasian ya, Rafa tuh baik tapi bapaknya agak laen memang. di tunggu part selanjutnya besokkk!
p.s karena mau ending, jadi aku nggak bisa up dua bab sekali huhu maaf ya. terima kasih sudah mau baca sampai bab ini^^

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang