4 : Celine?

3.3K 311 12
                                    

Kalau Anjela mau menelusuri pikiran terdalamnya—untuk kali ini, di bawah sengatan matahari dan di antara kaca-kaca dinding rumah sakit yang memantulkan sinar matahari siang yang terik sampai menyakiti kulitnya, Anjela juga belum menemukan satu titik terang atas perkataan Nino barusan.

Si Engkong galak itu—bosnya, teman sebangkunya waktu SD dan SMP—yang meminta Anjela pura-pura tidak mengenalnya ketika mereka akhirnya kembali bertemu di kantor tempatnya bekerja—tiba-tiba hari ini, mengajak nikah. Sedalam apa pun Anjela berusaha menebak kenyataan, intinya, ia tidak bisa menghalau itu semua.

Keadaan ini sudah cukup nyata. Apalagi yang perlu di pertanyakan?

Tante Heni—yang ada di bayangan Anjela selama ini, yang masih sehat bugar, dengan riasan manis dan anting-anting perak yang cantik, penampilan anggun dan rambut tebal bak Ratu dari Kerajaan Korea itu selalu menjadi satu gambaran utuh atas wujud yang Anjela miliki sampai hari ini.

Tapi ketika ia bertemu dengan wanita yang hanya memakai piyama pasien dan menatap terus ke langit-langit ruang kamar, Anjela seolah dimanipulasi oleh ingatannya sendiri.

Keramaian beberapa orang yang simpang siur di depan pintu masuk rumah sakit menenggelamkan serpihan memori Anjela. Di sepuluh tahun yang lalu, ketika ia berumur empatbelas tahun, ketika ia masih memakai seragam SD rok merah dan dasi, saat ia dan Nino yang aneh—masih sebangku, kini, waktu berputar terasa sangat cepat mengubah semuanya.

"Surat wasiat...?" gumam Anjela sendiri.

Ia beralih memandang ke koridor panjang di depan lobi pintu masuk. Beberapa mobil berhenti sebentar di depan pintu masuk untuk menurunkan pasien, kadang-kadang ranjang darurat melintas dengan terbaring pria tua di atasnya. Kesibukan para perawat dan pekerja rumah sakit memenuhi hari-hari Anjela seolah ini semua bukan hal yang baru.

"Mau nggak mau gue harus balik lagi deh ke dalem. Oon banget lupa bawa dompet!" gerutu Anjela akhirnya kembali menginjak ke rumah sakit dan menyusuri koridor tempat kamar pasien Tante Heni berada. Ia menaiki lift, lalu mulai harap-harap cemas kalau Nino malah sudah balik duluan.

Tapi saat pintu lift berdenting dan Anjela kembali melangkah ke kamar rawat Tante Heni, sebelum berbelok, langkahnya tertahan sejenak.

Di depan kamar pasien Tante Heni, Nino sedang berhadapan dengan seorang wanita kurus yang cantik. Anjela refleks menyembunyikan dirinya di belokan koridor lift. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sana dan tidak ada orang yang sedang lewat saat itu. Ia memasang telinga, mencuri dengar.

"...nggak ada gunanya kamu datang ke sini juga, Celine. Mama nggak akan mau ketemu kamu." Suara Nino terdengar lemah dan putus asa. Posisi Nino dan wanita yang memakai dress pastel oranye itu menyamping. Anjela berusaha menebak siapa gerangan wanita itu tapi tidak berhasil. Ekspresi keduanya kelihatan cemas.

"Aku tahu ini emang salah aku tapi... kamu lebih butuh aku untuk pernikahan surat wasiat Om Gun—"

"Celine," potong Nino tanpa menatap wanita itu, "Aku nggak akan nikah sama kamu."

Diam-diam Anjela mengerutkan alis. Ia merayap di pinggir tembok seperti cicak yang nggak punya rumah.

"Apa?"

"Surat wasiat itu... cuma satu-satunya alat yang bisa bantu mama dan Reno dari kecelakaan ini. Semua harta papa, nggak akan balik kalau aku nggak tandatangani surat itu."

Si wanita itu maju selangkah lebih dekat seolah tidak terima. "Dan untuk menandatangani surat itu, kamu harus menikah. Kalau bukan sama aku, terus sama siapa?"

Lama-lama, Anjela mulai merasa tidak asing dengan suara wanita ini. Ia seperti pernah mendengarnya di suatu tempat. Malah, terasa akrab.

Ada jeda panjang sebelum Nino akhirnya menjawab dengan intonasi yang lemah. "Anjela."

"Hah?"

Tengkuk Anjela mendadak merinding. Ia menarik dirinya dan menegapkan punggung ke tembok.

"Anjela—maksud kamu—Anjela teman SMP kita dulu—" suara wanita itu kini mulai merayap seperti api yang menyala di ingatan Anjela. Ia berbalik untuk kembali mengintip dan baru sadar siapa wanita itu sebenarnya.

Itu... Caroline Celine? Yang dulu ketua kelas kita? Anjela tak kuasa menahan mulutnya yang menganga tercengang. Kini ia bersandar setengah takjub ke tembok.

Suara heels dari Celine mengentak di lantai. Terasa nyaring dan dingin.

"Apa ini balasan Om Gun? Apa ini yang akhirnya aku terima setelah menunggu kamu hampir tiga tahun?" Nada tak percaya tersirat dalam kalimat itu. Anjela mengerutkan dahi, mendadak merasa cemas.

Satu hal, ia masih belum berpikir untuk benar-benar merasa permintaan Nino beberapa menit yang lalu—untuk mengajaknya menikah—adalah sebuah kenyataan. Kedua, Anjela masih menolak dengan keras permintaan itu. Walaupun di depan Tante Heni yang sakit, Anjela tetap tidak mau membohongi siapa pun, terutama dirinya sendiri. Ia tidak mungkin menikahi cowok yang tidak dia cintai.

"Kamu kasih tahu aku sekarang—kamu bilang ke aku, kalau ini semua cuman bercanda. Bilang ke aku sekarang—kalau ini nggak benar-benar terjadi."

Nino masih belum bersuara. Keheningan yang terasa getir mengaliri koridor rumah sakit. Seolah kenyataan yang sudah jelas-jelas dikatakan Nino bukan candaan. Siapa pun yang mengenal Nino jelas tahu kalau ia tidak pernah bercanda.

Karena candaan cowok itu memang garing juga.

Tapi kali ini, serius. Anjela sendiri bahkan sampai pusing sendiri dengan permintaan dadakan itu.

"Dari antara semua cewek—kenapa harus Anjela, Nino? Kenapa harus cewek itu?!"

Cewek itu?

Emangnya kenapa sama gue?

Tanpa berpikir panjang, Anjela berbalik dan muncul di bibir koridor. Membuat keduanya terkesiap kaget dan melihat kemunculan Anjela.

Anjela menghampiri keduanya dan mendengus di depan Celine yang mengerjap tak menyangka. Mungkin dia juga kaget dengan kemunculannya secara tiba-tiba ini.

"Lo—"

"Tenang aja. Gue nggak akan nikah sama pacar lo," kata Anjela langsung. Ia menatap ke Celine yang mengernyitkan hidung, memandang Anjela yang sedikit lebih pendek daripadanya.

"Oh ya, sama—ekhem," Anjela berdeham sambil menghadap Nino yang menatapnya tanpa mengucapkan apa pun. Ia menyodorkan telapak tangannya sambil menggerak-gerakkan jari.

"Pinjem gocap. Gua mau balik ke kantor. Nanti gue ganti."

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang