19 : Rumah Utama

1.2K 84 4
                                    

"Proyek Shitsu kenapa? Orangnya masih belum mau ambil lampu dari supplier yang kemarin, ya?" tanya Anjela ketika mereka sedang perjalanan menuju rumah utama. Yang disebut-disebut itu sebenarnya cukup membuat Anjela gugup. Walaupun ini hanya sandiwara, tapi semua yang ia jalani tetaplah sesuatu yang nyata. Ia akan bertemu dengan keluarga besar Nino yang selama ini terkesan rahasia dan misterius itu. Mungkin ia bisa mencari tahu juga alasan kenapa Nino mau pura-pura tidak kenal waktu dulu bertemu lagi.

"Mereka banyak mau. Tapi opsi terakhir tinggal supplier dari Amerika. Dan itu paling mahal barangnya. Entah mereka mau atau nggak, gue harus cari cara dulu. Omong-omong, hari ini Rafael gimana?"

Kota Jakarta yang gemerlap di bawah gedung-gedung perkantoran tinggi membelah persimpangan menjadi jalan-jalan sempit. Mobil Nino membawa mereka semakin ke arah Selatan. Malam membentang di atas mereka, lampu-lampu jalanan terlintas samar di samping mereka.

Rafael, sepupu Nino dari kakek yang sama tapi beda ayah itu nyatanya sangat jauh berbeda dari Nino. SIkapnya yang sangat ramah dan baik membuat hampir seluruh wanita di ruang kerja hari ini benar-benar melupakan deadline pekerjaan mereka. Bahkan, nyaris melupakan idola pertama dari perusahaan Holamp; Nino sendiri.

Kadang, yang membuat Anjela takjub adalah, ia bisa terus membimbing Rafael yang kelihatan pintar dan cekatan itu meski sebenarnya tidak perlu. Malah, ia dan Rafael jadi banyak mengobrol dan Rafael juga menceritakan sedikit soal kuliahnya di Aussie. Cowok itu bukan tipe yang terlalu ceria, masih ada sedikit kesan tertutup namun keramahannya membuat separuh hati Anjela jadi paham kenapa Nino yang super dingin dan manusia patung ini bisa menggerakkan bibirnya.

"Dia beda banget sama lo, ya. Rafael anaknya manis, orang-orang di kantor juga langsung suka."

Terdengar Nino menghela napas. "Yang lo nilai selalu dari tampang. Apa sekarang lo anggap Rafael kayak Ju Ji Hoon?"

Anjela terbelalak gembira. "Mungkin, ya! Ju Ji Hoon kan senyumnya manis, terus lemah lembut—eh ya, tapi kok lu tahu Ju Ji Hoon, sih? Lo sering nonton dramanya juga?"

Ada keengganan di wajah Nino sebelum menjawab. "Celine... juga suka sama dia."

Biasanya kalau mendengar ada teman lain yang sama-sama suka sama satu aktor, pasti kita langsung heboh dan jingkrak-jingkrak membicarakan aktor itu. Tapi kalau itu Celine sih....

Anjela hanya berdehem kecil lalu melempar pandangan keluar.

"Oh. Ehm, ya, pokoknya begitulah Rafael. Dia cepat berbaur, pintar dan bisa langsung paham kebiasaan kinerja kantor kita. Dia pengamat yang baik. Seharusnya besok dia udah bisa kerja tanpa bimbingan dari gue lagi."

"Bagus."

Dalam hati Anjela menggerutu. Kalau diingat-ingat lagi, tadi pagi waktu Nino meminta tolong di depan Rafael bisa semanis itu. Seandainya Nino bisa seramah Rafael, mungkin jalan ceritanya akan berbeda.

Dari gemerlap kota, mobil melaju ke jalan satu arah yang jauh dari Jakarta. Anjela tidak yakin mereka masih ada di Jakarta, tapi waktu Nino berbelok semakin menjauhi persimpangan dan tiba di jalan yang di samping kanan dan kirinya ini hanya ada pohon-pohon dan kegelapan, ia jadi bertanya-tanya.

"Rumah utama lo... beneran ada dimensi lain?" tanya Anjela sedikit berbisik. Ia memperhatikan sekitar dengan hati-hati. Ketika Nino meliriknya, cowok itu tersenyum geli.

"Jakarta itu luas, Jel. Yang lo lihat sekarang ini terselip keramaian sampai nggak ada yang sadar kalau belok dari persimpangan ini dan itu, lo bakal nemu tempat-tempat gelap kayak ini."

Anjela mengernyit ke arah Nino. "Lo yakin merasa bangga dengan Rumah Utama lo yang jauh dari kota begini?"

Nino tidak menjawab. Ia hanya menahan senyum kecil menyebalkannya itu sambil terus menyetir. Tak lama dari kegelapan, dari ujung jalan, Anjela melihat sebuah gerbang tinggi dan lebar dengan dua pintu yang di belakangnya sedikit terlihat setitik cahaya. Di samping gerbang itu ada dua pilar besar dengan lampu dinding menyala megah.

Seolah inilah dimensi yang Nino bicarakan itu.

Nino berhenti di depan pagar dengan Anjela yang masih berusaha mencerna seluruh pemandangan di sekitarnya.

"Malam, Tuan Nino," seru petugas dari pos yang berjaga di sisi pagar. Anjela langsung melongok, mendengar panggilan itu kemudian mengernyit bingung. Tuan? Tuan apaan?

Si petugas membukakan pagar dari dalam pos. Sepertinya ada tombol yang menggerakkan gerbang itu. Lalu derit pelan—yang nyaris tidak bersuara terdengar seperti semilir angin. Gerbang itu membuka dan Anjela bisa mendengar suara orkestra ketika matanya jatuh ke sebuah bangunan yang amat megah dan besar di belakangnya. Jarak dari gerbang ke bangunan itu tidak dekat. Mungkin beberapa meter.

Ketika melewati gerbang, Anjela melotot dan tercengang semakin lebar waktu mereka mendekati bangunan itu.

"Ini... ini rumah—" Anjela tidak menyelesaikan kata-katanya dan Nino juga tidak menjelaskan apa pun. Ada jalan setapak untuk mobil yang berputar di taman luas itu. Meski malam, lampu-lampu taman menyala bagai bintang yang mengisi taman. Air mancur yang berdiri di tengah putaran jalur pemberhentian mobil mengalirkan air. Lampu dari bangunan di depan juga terlihat apik dan mewah. Kalau tidak salah, Anjela melihat ada beberapa orang berdiri berbaris di atas tangga yang mengarah ke pintu bangunan.

Anjela merasa otaknya tertinggal di depan gerbang tadi dan sekarang sisa dirinya yang terbang di atas cerita dongeng.

Ini rumah utama?

"Eh—" Nino menyenggol pundak Anjela yang nyaris tenggelam dalam halusinasinya. "Ayo turun."

"O—Oh, iya, iya."

Mereka berdua keluar dari mobil. Anjela masih belum bisa membedakan mana yang mimpi dan kenyataan. Seseorang dari baris di atas tangga turun dan langsung menyambut Nino. Seseorang lain membuka bagasi Nino dan mengeluarkan koper kecil Anjela. Anjela masih meneliti pikirannya sendiri bahwa ia sedang tidak mimpi.

Nino menoleh ke arahnya. Karena Anjela masih bergeming di depan pintu mobil sambil memandangi bangunan di depannya, cowok itu mau tidak mau menghela napas dan menarik Anjela paksa.

"Lo bisa nggak, sih, jangan planga-plongo gitu?" bisik Nino ke telinga Anjela. Walaupun terasa menggelitik sedikit, tapi pemandangan di depannya tetap tidak bisa membuat Anjela teralihkan.

"Nggak bisa," jawab Anjela cepat.

"Permisi, Tuan Nino. Tuan Besar dan beberapa keluarga sudah berkumpul di ruang keluarga. Mereka sudah bersiap melakukan santap malam. Apa Anda ingin langsung bersantap atau beristirahat dulu?"

Seseorang berpakaian rapi dan formal mendekati Nino. Tangan cowok itu langsung menggaet Anjela yang masih terbuai dengan kemegahan bangunan.

"Pak Yoh, tolong Anjela suruh ganti baju dulu. Saya juga masih harus tukar pakaian sebelum santap malam. Apa mereka sudah menunggu lama?"

"Belum, Tuan. Hidangannya baru disiapkan dan mereka masih berkumpul di ruang keluarga sambil mengobrol. Apa Anda mau menemui mereka dulu?"

Nino terdiam sebentar sambil menarik Anjela mendekat. "Nggak. Kita ketemu saat santap malam aja dulu. Antar kami ke ruangan. Oh ya," Nino melirik ke arah Anjela yang sudah menyengir tidak jelas ke arah bangunan rumah. Nino menghela napas lalu mencubit pipi Anjela supaya sadar.

"Pak Yoh, kenalkan, ini calon istri saya, Anjela. Jela, ini Pak Yoh, sekretaris gue di rumah."

"Aduh-duh! Ah? Apa? Oh–oh, iya, saya Anjela," jawabnya sambil mengusap pipinya yang dicubit tadi.

Sepintas, Pak Yoh tersenyum tapi buat Anjela senyum itu membingungkannya. Ada pertanyaan yang tertampik di mata pria tua itu tapi Nino sudah keburu menyeretnya lebih dulu ke dalam rumah.

Di sela-sela mereka masuk ke rumah besar itu, Anjela berbisik amat pelan ke arah Nino, "No, ini rumah apa istana?"

Nino meliriknya lewat bahu. Ia mengangkat senyum kecil sambil mengencangkan gandenganya. "Di dimensi ini, disebutnya Rumah Utama."

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang