"Bisa keluar sebentar? Aku nggak berani masuk. Kelihatannya calon istri kamu ada di sana juga."
Celine mengetik dan langsung mengirimkannya setelah ia berhenti tepat di depan pintu kamar pasien Tante Heni. Dari bilah kaca kecil yang ada di pintu itu, ia bisa melihat dengan jelas gadis kurus yang duduk di sofa tak jauh dari ranjang. Celine jelas mengenali siapa wanita yang duduk di samping Tante Heni juga.
Dulu, ketika mereka masih sekolah, Celine ingat dengan jelas para ibu-ibu yang sering menunggu di tempat tunggu sekolah. Karena posisinya tepat di depan gerbang, jadi wajah mereka sangat familier dan selalu terlihat setiap hari untuk menjemput anak-anaknya.
Terlebih, ketika akhirnya Celine sekelas dengan Anjela dan Nino ketika SMP. Semua yang hanya kelihatan dari jauh, kini bisa ia lihat dengan jelas.
Celine berbalik dan pergi ke lorong pendek di dekat pintu darurat. Ia menyampirkan tas tangannya lalu bersandar ke dinding untuk menunggu Nino. Meskipun kemarin ia sudah berkata tidak akan menemuinya, tapi semalam penuh, gundah gulana yang mengganggu tidurnya sudah tidak bisa dicegah.
Ia harus tahu rencana apa dan seperti apa Nino benar-benar melakukan pernikahannya.
Pernikahan.
Astaga, gumam Celine.
Apakah selama ini Celine hanya bermimpi bisa menikah dengan Nino? Apakah hubungan empat tahun yang sudah mereka jalani masih belum cukup untuk membuat Tante Heni tidak mempercayai semua perasaannya? Apakah benar, Tante Heni hanya mengutuknya—karena kejadian tidak sengaja yang ia lakukan membuat Om Gun kecelakaan dan meninggal?
Celine sudah menerima dirinya sebagai tersangka tak kasat di mata keluarga Nino. Tapi itu sudah cukup untuk membuat merasa bersalah. Tidak ada keheningan yang paling mematikan selain meratapi nasib diri sendiri. Celine sempat kehilangan arah dan nyaris ingin bunuh diri demi menebus kesalahannya, tapi semua itu tertahan karena Nino.
Hubungan yang mereka lalui selama proses perawatan Tante Heni, tidak pernah sama seperti sebelumnya. Restu yang Celine harapkan, sudah tidak pernah terdengar di bibir Tante Heni. Dan seandainya Tante Heni masih bisa melihat, mungkin ia benar-benar tidak akan menatapnya. Karena saat Tante Heni buta saja, ia tidak pernah ingin melihatnya lagi.
Celine tahu ia hanya harus bertahan demi Nino. Tapi jika ia harus mengarungi nasibnya dua kali lebih menyakitkan lagi, apakah ia bisa?
Apakah melihat Nino menikah dengan Anjela—cewek yang selalu menjadi teman sebangkunya selama SMP ini—malah mengambil tempat yang selama ini Celine rawat baik-baik?
"Cel," panggil Nino dengan nada khas tenangnya. Pria tinggi itu muncul dari belokan yang bercahaya karena sinar lampu dari koridor. Ketika berjalan mendekat ke lorong pendek yang temaram, Nino menghindari tatapannya dari Celine.
"Aku nggak bisa, Nino," kata Celine menahan gelagak yang nyaris mendesak ingin keluar dari kerongkongannya. Ia membuang pandangan ke lantai.
Nino tidak mengatakan apa pun.
"Kalau cara Tante Heni untuk mendapatkan surat wasiat itu hanya dengan membuang aku dari kamu, ini nggak adil, Nino..."
Suara getar Celine merambat ke urat matanya yang berkedut. Rasa panas yang menjalar ke matanya luruh menjadi tangisan pelan. Padahal Celine sudah berjanji tidak akan menangis. Ia ke rumah sakit awalnya ingin menemui Tante Heni dan membicarakan ini semua lagi—tapi nyatanya, kesempatan itu sudah hilang. Lenyap dalam sekali malam gara-gara Anjela.
Ia mengangkat wajah dan menatap mata Nino yang sendu.
Mata yang lebih memilih menatap ke lantai daripada wajahnya.
"Kenapa harus aku yang menghadapi ini, Nino? Kenapa kamu diam aja—"
"Kamu tahu," kata Nino menyela cepat. Menghentikan arus menusuk di dadanya. "Sebenarnya, aku sudah memikirkan ini dari jauh-jauh hari. Dari setahun yang lalu—jauh sebelum aku benar-benar berani menentukan keputusan ini."
Nino mengangkat wajahnya, kali ini menatap dinding di depannya. "Aku pasti akan mematahkan hati kamu, Cel. Gimana pun akhirnya, walaupun aku memaksa, aku nggak pernah bisa. Papaku udah meninggal, Cel."
"Tapi bukan artinya kamu menikah sama Anjela hanya karena mama kamu benci sama aku! Ini nggak adil! Ini benar-benar nggak masuk akal! Gimana kalau—gimana kalau Anjela nggak bisa menerima kenyataan keluarga kamu? Gimana kalau kamu—juga benci sama aku?"
Suara Celine semakin pelan dan pelan. Seolah temaram yang melingkupi lorong itu semakin membuatnya ditelan bumi. Ia membenturkan punggungnya ke dinding dan kembali terisak.
"Cel, aku nggak pernah benci kamu. Kalau papa memang meninggal, itu bukan karena kamu. Tapi karena Tuhan yang udah menentukan waktunya. Tapi sekarang, bukan tentang papa aku. Sekarang tentang aku, Cel." Nino mendekat dan mengambil kedua tangan mungil Celine yang gemetar dan dingin. Mendekapnya ke dalam dadanya.
Nino mencari mata Celine, berusaha menggapainya meski temaram berjuang memisahkan mereka.
"Kamu tahu keluarga aku seperti apa, kan? Kamu tahu aku nggak bisa diam aja waktu Om Husein mau menarik semua tahta yang seharusnya aku punya begitu aja, kan? Ini cuman satu tahun, Cel. Di luar formalitas, aku tetap sayang sama kamu. Hubungan kita nggak akan putus. Kamu selamanya bakal menjadi milikku."
Celine beralih mendongak dan menatap Nino yang lebih tinggi darinya.
"Tapi kamu harus lebih kuat lagi. Setidaknya untuk satu tahun ini. Pikirkanlah keluargaku. Pikirkanlah tentang mamaku. Nggak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari tragedi ini selain aku. Dan kebencian mama... biarlah aku yang atur."
"Kamu atur...?"
Nino menatap ke dalam mata Celine dengan kesungguhan yang nyata. "Hanya kamu satu-satunya yang di pikiranku sekarang."
Setelah mengatakan itu wajah mereka mendekat. Nino menempelkan bibirnya di atas bibir Celine yang dingin. Di bawah temaram, di antara waktu yang hendak memisahkan takdir mereka, sepasang mata menatap dalam getir. Sepasang mata yang tahu kalau ia tidak akan pernah bisa benar-benar merasakan cinta seperti mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titah Agung
RomanceCompleted Pria idaman Anjela adalah seorang protagonis yang sering muncul di K-drama. Memang mustahil sih buat dapatin cowok sesempurna dan seindah di drama, tapi kalau usaha, nggak ada yang halangin, kan? Sayangnya, kehidupan Anjela sebagai penulis...