10 : Kawin kontrak

1.8K 164 2
                                    

Map di atas meja kembali diangsurkan ke Anjela. Gadis itu sekarang duduk di depan meja sambil meneliti surat dengan mata telanjang. Nino tidak pernah melakukan perjanjian seperti ini. Tapi melihat gelagat Anjela, ia mendapat sedikit harapan atas semua keputusan bodohnya beberapa hari yang lalu terhadap Celine.

Ia mengamati Anjela yang sibuk mencatat sesuatu di ponselnya. Lalu dengan printer yang ada di sebelah ruangan, ia menghubungkan ponselnya dan mencetak catatan yang tadi ia ketik di ponsel. Setelah Nino menunggu beberapa saat, Anjela menghampiri meja kerjanya dan menyerahkan kertas yang baru saja ia cetak.

Nino melongok, mengintip ke kertas yang ternyata berisi sebuah daftar dengan poin-poin.

"Ini adalah syarat dan ketentuan dari gua," kata Anjela, "untuk sekarang jujur aja gue nggak tahu harus minta imbalan apa. Karena keadaannya terlalu mepet, yang ada di otak gue sekarang cuma keadaan Tante Heni dan apa yang lo ceritain kemarin ke nyokap."

Nino membaca poin-poin yang dibuat Anjela. Ia mengernyit tipis. Di sana, Anjela menulis sebagai berikut;

Syarat Kontrak dari Anjela Juliani:

1. Wajib menceritakan seluruh kronologi kasus yang terjadi supaya bisa memaksimalkan prosedur kegiatan selama kontrak berjalan.

2. Tidak menyembunyikan masalah yang berhubungan dengan kasus supaya Anjela sendiri bisa memahami keseluruhannya.

3. Tidak satu kamar.

4. Tidak boleh skinship di depan umum.

Nino mendecih, "S&K lo nggak logis. Gue nggak bisa terima."

"Yang bagian mana yang nggak logis?" tanya Anjela bingung. "Semua itu tentang pekerjaan. Kalau tujuan lo emang menikah hanya karena ingin memenuhi syarat wasiat kayak yang lo bilang kemarin, semua itu udah mencakup pekerjaan tersebut. Sekarang gue nggak bisa lihat lo lagi sebagai Pak Nino yang selama enam bulan ini menjadi bos gue. Tapi di mata gue, semua perjanjian ini kita lakuin karena gue menganggap lo sebagai teman lama gue. Itu aja."

Tanpa mengatakan apa pun Nino mengangsurkan daftar Anjela kembali padanya.

"Poin terakhir gue nggak bisa penuhi itu."

Anjela mengerutkan alis, lalu membaca lagi poin terakhir. Ia langsung melotot. "Kenapa nggak bisa?! Lo kira gue mau skinship-an sama lo? Eh, kemarin itu udah cukup ya. Di depan nyokap gue yang nggak tahu apa-apa dan lo ngajak gue nipu bareng."

"Lo pun nggak menolak, kan?" tanya Nino dengan raut tenang tanpa rasa bersalah. Malah bikin Anjela naik darah. Melihat ekspresi itu bikin Anjela ingat lagi masa-masa waktu ia sebangku dengan Nino waktu SD kelas enam dulu.

Nino yang jarang bergaul, yang cuma sibuk duduk dan membaca buku atau kadang-kadang—dari antara semua anak cowok, hanya dia yang membawa bekal. Bikin Anjela tetap harus makan siang bersama teman sebangkunya. Karena satu kelas itu jarang yang membawa bekal, mereka biasanya pergi ke kantin langsung. Tapi khusus Nino, ia justru jarang jajan di kantin dan lebih memilih duduk di tempatnya, makan dengan tenang bersama Anjela dan teman-teman perempuannya yang lain.

Lalu suatu ketika, Anjela masih ingat betul—waktu Nino memberikan ikan tongkol yang jadi teman makan Nino. Karena Nino tidak suka ikan, ia langsung menyodorkannya ke Anjela. Anjela bukannya menolak, tapi gaya seenaknya Nino sudah sering diperlakukan di depan Anjela. Seolah Nino punya 'tempat sampah' tersendiri untuk masalah menu makanan yang tidak ia sukai dari kotak bekalnya.

Meski begitu, tetap saja Anjela tidak bisa menolak.

Sama halnya seperti kejadian semalam.

Walau kasus semalam sebenarnya ada tekanan tersendiri untuk Anjela tidak bisa menolak.

"Ganti poin terakhir dengan, 'tidak boleh skinship di depan umum kecuali di depan keluarga'."

Anjela mengerjap hendak menyangkal tapi Nino buru-buru menambahkan, "nggak gandengan tangan di depan notaris malah bikin kita makin dicurigai. Apalagi di depan Om Husein. Gue mau semuanya terlihat natural. Lagian cuma setahun, lama-lama juga terbiasa."

"Terbiasa menipu ya, maksud lo? Lagian gue heran, kenapa sih harus satu tahun? Kalau wasiatnya bisa lebih cepat, enam bulan bukannya cukup?"

"Yang kita lawan sekarang bukan hukum aja, tapi keluarga gue sendiri. Buat meyakinkan Om Husein harus dari dalam. Dan cara organik adalah satu-satunya solusi. Selain buat meyakinkan nyokap, gue perlu meyakinkan semua orang. Setahun sambil cari cara buat ngalahin beliau bahkan mungkin kurang."

Anjela mengerut samar, menelaah informasi itu diam-diam. Nino menghela napas. Ia menunjuk map hitam di atas meja lagi. Menyuruh Anjela fokus ke sana.

"Ini adalah surat kontrak yang gue buat secara pribadi. Gue nggak tahu ini sah secara hukum atau nggak tapi—ini sebagai bukti kalau gue nggak akan keluar dari janji gue. Lo baca dulu," ujar Nino.

Map itu berisi selembar surat praktis dengan kotak tanda tangan yang dimateraikan sepuluh ribu. Anjela sendiri tidak pernah benar-benar melakukan perjanjian pernikahan begini. Tapi, daripada memikirkan hal-hal yang bikin dirinya makin merasa serba salah, lebih baik cepat-cepat ia selesaikan saja.

Toh, satu tahun, seharusnya nggak lama, bukan?

Jika Anjela lebih merasa tidak bisa melihat Tante Heni tersiksa seperti di rumah sakit waktu itu, maka satu-satunya jalan untuk membantu Tante Heni segera sembuh hanyalah membuat Nino cepat-cepat mengambil surat wasiat itu.

"Pulpen," kata Anjela tanpa membaca surat itu lebih detailnya. Nino tidak bergerak langsung, ia beralih menatap Anjela beberapa saat.

"Poin terakhir dari S&K lo gimana? Lo bakal ganti, kan?"

Anjela mendesis kesal. Ia melotot ke arah Nino yang tidak memunculkan ekspresi apa pun. "Bawel bener. Iya gue ganti. Mana sini pulpen... lama."

Nino menyerahkan pulpen dan membiarkan Anjela membubuhkan tanda tangannya di surat kontrak itu. Lalu Anjela mengambil staples dari tempat pulpen di meja kerja Nino dan menggabungkan surat S&K Anjela bersamaan surat kontrak itu.

Untuk beberapa detik, Nino merasa jantungnya mencelus lega.

"Emangnya..." Nino memulai sebelum Anjela bangkit dari kursi. Ia menatap gadis yang bergeming itu. "Apa sebenarnya permintaan yang nggak bisa gue penuhi itu? Apa... ada kaitannya sama nyokap lo?"

"Nggak perlu tahu. Intinya lo nggak bisa kasih itu. Sebelum minta pun gue sadar diri. Sekarang, ceritain ke gue semua soal keluarga lo yang super misterius itu. Dan wasiat itu juga."

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang