Pagi-pagi sekali Anjela sudah merenung cukup lama di depan monitor. Ia sengaja bangun pagi dan menyiapkan bekal sendiri supaya tidak bicara ke mama. Mengingat kejadian semalam saja sudah melelahkan. Anjela tidak mau membuat pagi harinya jadi suntuk gara-gara ia harus berbohong lagi di depan mama. Jadi lebih baik, ia cepat-cepat ke kantor, dan menunggu Nino datang.
Ruang kerja di perusahaan Holamp tempat Anjela bekerja cukup luas. Karena perusahaan konsultan lighting memiliki pekerja dari berbagai divisi, kubikel yang berjajar di setiap ruangan juga hampir penuh dan padat. Hanya ruang Nino sendiri yang menjarak dari antara kubikel pekerja lain. Beberapa staf ada yang sudah sibuk mengetik dan menge-klik mouse. Membiarkan suasana pagi yang cerah jadi sibuk seperti biasa.
Tapi buat Anjela, setelah kemarin, tidak ada rutinitas yang terasa sama. Ia harus ingat bahwa sandiwara semalam bersama Nino adalah awal mula ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri.
"Jel," sebuah suara tiba-tiba memecah lamunannya. Itu Julia, seorang gadis berambut panjang dengan poni rata dan selalu memakai blus dengan cardigan hitam. Sambil meletakkan bungkusan sarapan ke atas meja, Julia duduk dan menyeret kursinya mendekat ke arah Anjela.
"Lo tahu nggak, kata sekretaris Nino tadi di pantry, Pak Nino lagi batalin beberapa proyek."
Anjela mengernyitkan alis. "Batalin? Kenapa?"
"Katanya ada urusan serius! Kayaknya dia mau nikah sama pacarnya deh!"
Mendadak Anjela terlonjak di kursinya sendiri. Ia melotot ke arah teman semejanya. "Se—serius?"
Jika benar begitu, itu artinya semalam ia benar-benar membuka kesempatan untuk Nino menikahinya...
Benar, kah?
Saraf-saraf otak Anjela mendadak kusut seperti benang layangan yang tersangkut di kabel listrik. Ia menghempaskan diri dan merasakan penyesalan yang begitu dalam.
Seandainya kemarin gue bilang langsung ke mama kalau itu semua cuma bohongan! Seandainya... semalem gue nggak merasa kasihan sama si Engkong itu... argghhh!
Julia menatapnya dengan kening berkerut. "Jel, lo kenapa? Kok tiba-tiba pucet?"
Anjela tergelagap. "Ah? Pucet? Masa iya?" Ia hendak mengambil kaca dari tas tangannya tapi sebelum melakukan itu, dari pintu masuk ruangan, masuklah seorang pria tinggi yang diikuti seorang wanita anggun dengan suara langkah terhentak-hentak berirama di lantai marmer yang mengilap. Beberapa orang yang duduk di sekitar situ sibuk menggumamkan selamat pagi tapi tidak diladenin oleh Nino. Malah, entah kenapa tiba-tiba cowok itu menoleh ke tempat Anjela waktu ia berdiri di depan pintu menuju ruangannya.
Dan dengan seenaknya si Engkong itu berseru, "Jela, ke ruangan saya sebentar."
Semua orang ikut menatap sekilas ke arah Anjela yang langsung menegapkan badannya. Julia ikut mendelik, mengekspresikan semoga hari ini ia tidak keluar dengan wajah masam. Seperti biasa. Kalau ada pekerja yang dipanggil ke ruangan Nino biasanya bakal berkutat dengan revisi atau draft kerjaan baru. Tapi Anjela sudah paham betul bahwa ini semua bukan masalah pekerjaan.
Anjela tidak bisa menolak selain langsung berdiri dan berjalan ke ruangan kedap suara milik Nino. Sekretarisnya masih berbincang sebentar dengan pria itu di dalam. Karena dinding ruangan Nino terbuat dari kaca, Anjela bisa melihat ketika sekretaris Nino memberi isyarat untuk masuk.
Di depan pintu, Anjela pun berjalan masuk dan mengangguk memberi salam tipis ke sekretarisnya. Setelah sekretaris Nino mengumpulkan beberapa dokumen dan membawanya pergi dari ruangan Nino, barulah, ruangan akuarium ini terasa lebih hening dari biasanya.
Nino duduk di belakang meja besar yang terbuat dari lapisan kaca. Di belakang Nino, jendela besar yang menampilkan panorama lansekap kota Jakarta menjadi latar paling memilukan untuk Anjela.
"Kenapa?" tanya Anjela sinis. Ia menatap keluar, malas melihat wajah Nino.
"Jadi semalam lo setuju, kan? Lo terima tawaran nikahnya, kan?"
Mulut Anjela tidak bergerak. Hanya detak jantungnya yang terasa seperti diikat oleh jurang waktu sampai Anjela sendiri lelah dan tidak bisa melepaskan diri. Masalah semalam adalah murni karena ia terkena sambaran kuat dari pengakuan Nino yang tidak pernah ia lihat di manapun. Jika seandainya pengakuan itu juga hanya kesedihan bohongan, tapi Anjela tidak bisa bersikeras melihat keadaan Tante Heni sebagai tipuan.
Kecelakaan itu benar adanya.
Tante Heni buta.
Dan Nino mendadak meminta menikah karena ia butuh mengambil wasiat paling penting untuk keluarga mereka.
Sementara mama—raut dan senyum berseri-seri mama adalah hal yang paling tidak mampu untuk Anjela patahkan dalam sekali kejap. Karena ia tahu dengan jelas apa yang membuat mama bahagia.
Anjela tidak bisa menjawab dalam beberapa detik. Sesak yang menggumpal berubah menjadi kekalahan. Ia sadar ia terjebak tingkahnya sendiri. Perasaan labil yang mengguncang dirinya ketika melihat sosok Nino semalam adalah sesuatu yang menonjok logikanya.
"Setahun," kata Nino sambil mengeluarkan map hitam lalu menyodorkannya ke arah Anjela yang berdiri di depan meja. "Setahun aja lo jadi istri gue, setelah itu kita cerai. Untuk saat ini, gue terpaksa—melakukan semua ini, supaya gue dapat kepercayaan dari Notaris lagi. Setidaknya, gue mau—"
"Harga gue mahal," potong Anjela. Ia melirik acuh tak acuh ke arah Nino yang mendongak. Cowok itu terlihat terdiam sebentar.
"Lo sendiri yang bilang kalau Tante Heni selalu ingat gue untuk jadi mantunya. Gue nggak tahu kenapa nyokap lo masih nggak merestui hubungan lo sama Celine, tapi—gue cuma kasih tahu ke lo, bahwa harga gue mahal."
Nino menatap tanpa ekspresi lagi. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. "Berapa?"
Giliran Anjela yang terdiam.
Berapa?
Apa yang Anjela minta dari perjanjian ini?
Ia tidak tahu.
Nino menarik kursinya lebih dekat supaya bisa menatap Anjela. "Hei? Jela, berapa yang lo minta?"
Untuk sejenak, Anjela menghalau pikirannya yang mendadak membeku karena tidak tahu harus menjawab apa.
"Ekhem, untuk sementara... gue... masih belum tahu. Tapi—gue cuman bilang kalau gue mahal. Dan nggak seharusnya lo ngegampangin rencana ini."
Nino terdiam beberapa detik.
"Kemarin, kenapa lo nggak jadi marah-marah?" Nino bertanya dengan nada tenang sekaligus tanpa ekspresi.
Anjela mengerjap. "Apanya yang nggak marah?"
Nino tetap menatapnya tapi tidak mengatakan apa pun. Giliran Anjela yang gelagapan.
"Udahlah. Nggak usah dibahas lagi. Kalau sekarang gue bilang gini, itu artinya gue setuju. Lagipula..."
Menikah.
Sepasang cinta yang menjadi satu.
Apakah itu bentuk kebahagiaan yang semua orang butuhkan?
Apakah Anjela membutuhkan cinta seperti apa yang mama bilang?
"Kalau pun ada yang mau gue minta, pasti lo nggak akan bisa kasih."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titah Agung
RomanceCompleted Pria idaman Anjela adalah seorang protagonis yang sering muncul di K-drama. Memang mustahil sih buat dapatin cowok sesempurna dan seindah di drama, tapi kalau usaha, nggak ada yang halangin, kan? Sayangnya, kehidupan Anjela sebagai penulis...