Pintu diketuk sekali, Nino masuk tanpa mengatakan apa pun. Di belakang pintu, ruangan temaram dengan dekorasi klasik; kolom garis-garis putih, lantai berlapis karpet berwarna merah kecoklatan yang meredam langkah sepatu Nino, beberapa guci antik di sudut ruangan, lukisan tua dan besar terpampang di dinding polos berwarna putih gading. Lampu kaca bertingkat menggantung di tengah ruangan, gagangnya dilapisi kuningan mewah, menyemburkan cahaya temaram ke sepanjang ruangan.
Aroma dupa samar-samar tercium. Nino mendekat ke sebuah meja kerja lebar yang ada di tengah ruangan. Tepat di sana, duduk seorang pria berjas biru langit, sedang merokok dan memandangi Nino setengah tersenyum.
"Sudah ketemu Rafael?" suara bariton itu menyapa Nino yang merapatkan kakinya. Ia berhenti tepat di depan Husein tanpa mengekspresikan apa-apa.
"Langsung ke intinya," ujar Nino lurus. Ia menatap pria yang kini tertawa miris sambil bangkit berdiri. Tinggi Husein pada dasarnya tidak semampai. Tapi tubuhnya yang besar dan bongsor membuat Husein terlihat seperti Paman Bob yang kebanyakan makan sandwich. Perutnya tidak lebar, tapi ia punya bahu bugar, leher tinggi dan lengan yang gemuk.
"Surat wasiatnya, apa kamu nggak berniat ambil dari om? Ingat loh, kalau kamu belum menikah juga, kamu nggak akan bisa dapatin semua warisan itu. Yang om bingung, kenapa papa kamu itu seperti kacang lupa kulitnya, ya?"
Mata Nino memicing seraya menatap pria yang lebih rendah darinya itu.
"Apa maksud om?"
Husein menyelipkan rokoknya ke bibir lalu menghisapnya dalam-dalam. Sambil menghembuskan asap kebiruan dari mulutnya, pria itu menatap sedikit mendongak ke arah Nino.
"Kekayaan yang papa kamu punya, itu sebenarnya berasal dari kakekmu. Kalau bisa adil dan seimbang, kenapa ia malah memberikan semua kekayaannya kepada kamu? Itu benar-benar tidak bijak. Dan aku bisa memperbaiki itu."
"Om nggak ada hak untuk mengubah isi surat itu—atau lebih parah, mengambil alih surat tersebut!" seru Nino menatap tajam. Husein melambaikan tangannya ke udara. Seorang pengawal pria tua muncul dari ruangan sebelah. Ia membawa sebuah nampan berisikan amplop coklat besar. Husein mengambilnya sambil mengepit rokok di bibirnya.
"Kenapa kamu bisa bilang om bakal mengubah isi surat itu? Kamu sudah berani menuduh? Kamu pikir, dengan kekuasaan kamu di surat itu sekarang kamu sudah punya semuanya?"
Nino menahan napasnya. Memandangi Om Husein membuka amplop itu lalu menyerahkannya pada Nino yang enggan menerima. Tapi acuh tak acuh, ia tetap membaca surat itu.
"Nino, tahta yang papa kamu punya itu seharusnya masih jatuh ke tangan Kakek Chang. Tapi karena kakek sementara ini masih sakit di Singapore, kita nggak bisa memaksa dia mengurus itu dan notaris pun secara adil memberikan kuasa sementaranya ke om. Om ini Direktur Utama, siapa pun yang meminta dialihkan ke kamu, semuanya butuh prosedur yang panjang. Dan nggak gampang. Dengan baik hati om menjaga semua kekuasaan ini loh, buat kamu juga. Sekarang, titah om tinggal satu."
Surat dari amplop itu berisi tentang penyerahan. Nino tidak paham betul karena ia hanya membaca cepat. Tapi sekilas ia mencerna kalau surat itu seperti perjanjian, akan mengalihkan wasiat jika syarat untuk menikah sudah terpenuhi.
"Menikah. Tapi, katanya hubungan kamu dan Celine tidak direstui Heni. Terus, kapan kamu bisa menikah, kalau begitu?"
Senyum keji itu membentang puas di wajah Husein yang berbalik duduk. Nino menurunkan suratnya. Memandang pria yang sejak kecil selalu menjadi musuh bebuyutan Nino. Dulu, waktu Nino masih kecil, ia sering bermain dengan Rafael. Anak dari Om Husein yang selalu ia banggakan. Papa bukan orang yang senang memuji Nino secara terbuka. Di depan perjamuan makan, misalnya. Papa hanya selalu mengakui Rafael dan menyetujui perkataan Husein.
Nino sendiri bukan anak yang peduli soal masalah puji memuji. Meski Pak Yoh selalu berkata kalau itu hanya sebagian sifat Husein, Nino tidak terlalu peduli. Karena pada kenyataannya, papa selalu memuji Nino diam-diam. Tidak terang-terangan dan norak seperti Husein. Tapi hal itu tidak membuat Nino berpikir kalau Rafael menyedihkan. Kadang-kadang, keluarga yang sempurna tidak akan pernah ada di dunia ini.
Sejak kecil Nino sadar, besar dan tumbuh di keluarga dimensi lain ini membuatnya berpikir, kalau ia mungkin akan berbeda dari orang pada umumnya. Ia tidak menamai rumah keluarga dengan sebutan rumah. Melainkan Rumah Utama atau bahasa akrabnya, istana. Mereka tidak menyebut makan malam dengan makanan biasa. Nino selalu mengenalnya dengan santap malam yang kudus. Keluarga mereka punya titah-titah tak kasat yang selalu mendarah daging dalam darah mereka semua. Seolah-olah, jika tradisi keluarga besar ini tidak dijalani, maka akan ada kekacauan yang bisa mempengaruhi arus keuangan di Singapore dan Jakarta.
"Bicara soal itu, besok aku bakal kenalin om calonku yang baru."
Nino hendak berbalik dari ruangan itu. Antara muak dan malas membahasnya, tapi Husein langsung menahannya.
"Kamu sudah punya calon lagi? Wah, wah, ternyata om terlalu memandang rendah masalah pernikahan kamu ini, ya?"
Husein terdengar sepenuhnya menghadap Nino. Karena Nino sudah berbalik membelakanginya, ia tidak yakin apa yang sedang Husein lakukan. Tapi dari nada bicaranya, ia bisa mendengar nada penuh ancaman setelahnya.
"Pernikahan ini bukan macam-macam, loh. Jika om menemukan kejanggalan—pernikahan itu bisa tidak sah. Ibaratnya, kamu hanya mengotori titah paling agung yang papa kamu minta. Kecuali kamu tidak percaya sama om. Maka, kamu tinggal tunggu nasib buruk aja, bukan?"
Sebelum melangkah keluar, Nino mengendus dalam diam. Ia menghentakkan pintu, lalu berjalan keluar. Meninggalkan Om Husein yang menyelipkan senyum miring di bibirnya yang terselip rokok.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titah Agung
RomanceCompleted Pria idaman Anjela adalah seorang protagonis yang sering muncul di K-drama. Memang mustahil sih buat dapatin cowok sesempurna dan seindah di drama, tapi kalau usaha, nggak ada yang halangin, kan? Sayangnya, kehidupan Anjela sebagai penulis...