1 : K-drama vs R-drama

10.6K 471 10
                                    

"Haduh, Ju Jihoon takut aja ganteng. Heran."

Ruang kerja yang diisi beberapa orang itu disekat oleh kubikel-kubikel pendek berwarna putih cerah. Di atas meja, sebuah komputer masih menyala, menampilkan layar AutoCAD, sebuah aplikasi di mana Anjela menggambar struktur perlampuan dan titik-titik lampu dari denah yang klien berikan. Deadline-nya hari ini padahal, tapi lima menit sebelum istirahat adalah momen paling nyaman untuk curi-curi nonton. Soalnya tadi pagi, sebelum Anjela benar-benar menyelesaikan lima menit terakhir dari empat puluh lima satu menit episode drama Kingdom, si Engkong sudah datang. Buru-buru minta Anjela rapat dan mencatat semua kebutuhan proyek masuk.

Alhasil, mumpung Engkong lagi sibuk di ruangannya sendiri—Anjela cuek aja buka lanjutan lima menit drama terakhirnya sembunyi-sembunyi.

Oh ya, Engkong itu sebutan si bos—Direktur utama sekaligus si tukang nyuruh-nyuruh. Wajar sih tukang nyuruh, soalnya kan bos...

Scene film sedang menunjukkan bagian di mana Ju Jihoon hampir terkena gigitan monster. Anjela berusaha tidak terbawa arus ketegangan. Ia sudah menggigit bawah bibirnya, menahan untuk tidak menjerit. Dan berhasil. Ju Jihoon-nya selamat, tapi episode selesai dan Anjela kebelet mau tahu lanjutannya. Sayangnya, satu menit sebelum pukul dua belas siang, tiba-tiba dari belakangnya ia merasa aura-aura gelap mendekat.

Punggungnya yang sedang condong ke dalam meja kubikel mendadak menegak. Ia mencopot earphone dan merasakan tarikan aura gelap itu di udara. Dan seolah punya spion, Anjela pun terkesiap.

"Oh, jadi Ju Jihoon-nya belum mati, ya?"

Suara lembut dan dingin dari belakang Anjela kontan membuatnya terperanjat bangkit dari kursi. Mengagetkan beberapa rekan kerja di sebelah kubikelnya. Refleks, Anjela langsung melempar ponselnya terbalik, menutupi layar ponsel yang otomatis melanjutkan drama ke episode berikutnya.

Anjela praktis tersenyum, ia menyingkirkan poni tipis kepanjangan yang menusuk matanya.

Wajah Engkong sekeras patung, sedingin ice americano.

"Bapak manggil, saya?"

Tanpa mengucapkan kata-kata, Engkong menyentil kening Anjela dan dengan lebay-nya Anjela menjerit kesakitan. Semua orang menoleh, tapi Engkong melesatkan tatapan tajamnya, menyuruh semua orang tidak memperhatikan mereka.

"Kerjain draft yang ini. Saya mau meeting buat jam satu."

Belum selesai memberi perintah, Anjela langsung melihat arlojinya dan dengan tangkas menjawab, "ini udah jam makan siang, pak! Saya harus makan dulu—"

"Belum—masih ada satu menit sebelum jam dua belas."

Mata Anjela melotot. Ia kembali melihat arloji digital yang mengedipkan detik di angka tiga puluh detik. Lalu Engkong juga mengintip arlojinya dengan santai. "Tiga puluh detik sebelum makan siang. Kamu kan bisa dapat lembur kalau jam istirahat kerja."

"Tapi, pak—" tenggorokan Anjela tersekat. Setumpuk kertas A3 yang dilipat sudah rapi berpindah ke tangan Anjela dengan paksa.

Engkong menatapnya datar, "nanti saya bikin Ju Jihoon mati, mau?"

Anjela menganga lalu Engkong jelek itu berbalik sambil berjalan ke ruangannya. Melintasi orang-orang yang mulai bangkit dan merenggangkan otot mereka seolah mengejek Anjela yang tidak kebagian jam istirahat.

Demi Tuhan, si Engkong jelek itu! Lihat aja—umur masih muda, tapi semua pekerja di sini manggil dia Engkong! Mau tahu kenapa? Karena hobi utamanya itu marah-marah. Terus kalau marah-marah, si Engkong pasti memperbanyak kerut tipis di keningnya, bukan? Yah, walaupun sebagian orang bilang Engkong ganteng, tapi tetap aja, Engkong itu sebutan sekaligus doa biar Engkong cepet-cepet angkat kaki dari kantor ini. Cepet mati sekalian, kalau bisa. Lihat aja kelakuannya barusan!? Emang dia siapa bisa bikin karakter Ju Jihoon di drama itu mati? Sutradara bukan, tapi lagaknya sok banget.

Anjela mengacak-acak poninya sambil menggertakkan gigi kesal lalu berbalik menarik kursi mendekat sampai ke meja. Menyembunyikan kekesalannya di tumpukan kertas. Ia membanting mouse lalu menyalakan layar komputer. Sambil bersungut-sungut, ia membuka lipatan kertas A3 yang diberikan Engkong barusan dan melebarkannya di atas meja.

Kali ini proyek apartemen. Ruangannya memang kecil sih, tapi ada gambar detail yang—Ya Tuhan—harus banget gambar detail juga?

"Nino sialan! Lihat aja lo ya Nino—gue selesain ini setengah jam tanpa nanya—"

Tiba-tiba dari bahunya seseorang mendekat dan hampir menempelkan sedikit pipinya ke samping wajah Anjela yang membeku.

"Tadi kamu bilang apa?"

Bibir Anjela mengatup seperti bunga kuncup. Ia menahan napas dan bisa melihat wajah beku si Engkong yang ternyata belum balik ke ruangannya.

"Eh—nggak, pak. Nggak bilang apa-apa."

Engkong, alias Pak Nino langsung bangkit dan sedikit merunduk dari belakang kursi Anjela. Ia menunjuk gambar coret-coret detail untuk sebuah lampu meja. Anjela dengan kikuk menatap jari panjang milik Nino yang mulai merangkak ke gambar besar yang kini ada di balik kertas A3 itu.

"Lampunya harus kamu ukur dulu. Ini R30, kamu cari di gudang, saya lupa-lupa ingat diameternya berapa, tapi kira-kira sekitar lima senti sih. Soalnya ini kayunya nggak bisa dipotong lebar-lebar. Kasih tahu saya kalau misalnya lampunya lebih dari lima, biar nanti saya tambal pakai ambalan."

Setelah mengatakan itu, Anjela menahan napas sekaligus sumpah serapahnya yang nyaris mengotori jiwanya. Nino berbalik dan pergi menjauh dari kubikel. Kali ini Anjela harus memastikan lagi kalau pria itu benar-benar hilang dari antara kubikel yang lain.

Sementara di saat yang bersamaan, beberapa rekan kerjanya mulai pada berdiri dan berbincang-bincang tentang menu yang akan mereka pesan. Perut Anjela mendadak bergemuruh dan tak lama, ruang kerja kosong. Anjela meringis. Sisa dirinya dan Engkong di akuariumnya. Disebut akuarium karena hanya ruangan beliau yang disekat dinding kaca. Tirai sesekali tertutup di ruangannya, tapi kali ini tirainya dibuka. Memperlihatkan si Pria Menuju Tua itu sedang menunduk, membaca sesuatu di mejanya.

Ish... ada ya orang tega kayak dia. Nggak mikirin perut orang—nggak mikirin kalau pekerja juga manusia, bukan robot.

Alhasil, Anjela pun tinggal pasrah dan kembali fokus ke komputer. Lebih baik cepat selesai daripada sibuk menggerutu. Tenaga yang positif adalah tenaga yang dipakai untuk kerja, bukan marah-marah.

Setengah jam berkutat dengan gambar, suara kibor dan mouse memenuhi ruangan. Saking fokusnya Anjela, dia sampai kaget waktu mendengar suara Engkong berseru dari dalam ruangannya.

"Kenapa nggak bilang saya dari kemarin!? Kalau sekarang kamu bilang itu sama aja kamu mau bawa saya ke jurang! Apa kamu emang nggak bisa kerja, hah? Sekarang, kabarin supplier-nya, saya nggak mau tahu sepuluh menit lagi itu barang harus kamu pesen. Malam ini lampunya sudah mau dipasang. Kalau nggak, kamu saya pecat."

Suara gebrakan yang keras terdengar, disusul pintu kaca yang berderit pelan. Anjela menegak di kursinya. Dalam hati mengeluh—kenapa pas dia sudah hampir selesai mengerjakan titik lampu dan hendak bertanya detail ada telepon yang bikin Engkong nggak mood, sih?

Langkah sepatu Engkong terdengar mendekat, refleks Anjela menoleh, berharap Engkong bisa memutar balik ke tempatnya, tiba-tiba Engkong malah narik tangan Anjela sampai dia terpaksa bangun dari kursinya. Tetap dengan muka mengerutnya, Engkong menuntun Anjela keluar dari ruang kerja yang sepi.

"Eh, pak—saya mau di bawa ke mana? Pak—"

Tombol lift ditekan dan Engkong menoleh dengan tatapan tajam.

"Diam atau kamu saya pecat?"

Ya Tuhan...

Anjela tidak bisa melawan apa-apa lagi selain pasrah. Sebelum mereka masuk ke lift, pegangan Engkong pun masih menggenggam tangannya.

***

Hai! Aku kembali update cerita di sini nih! Tapi kali ini aku bikin story lokal ala kantoran nih. Cerita ini sempat aku publish di Cabaca juga. Karena sudah selesai juga, aku bakal update setiap hari yah, jadi, jangan lupa tambahin ke perpustakaan supaya nggak ketinggalan update-nya. Terima kasih yang udah baca, ditunggu update besok ya^^

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang