Hari ini Anjela dan mama tidak makan di ruang makan. Mereka tidak mau melewatkan acara talkshow dari TV kabel kesukaan mama. Lauk pauk terhidang di atas meja kopi sementara Anjela duduk bersila di atas sofa. Sibuk memasukkan nasi ke dalam mulut menggunakan tangan telanjang.
"Maap ma, aku mau kentut." Anjela memiringkan pantatnya lalu suara 'dut' pendek terdengar. Mama tidak sempat memprotes. Ia hanya berseru di balik mulutnya yang penuh. Lalu Anjela terkekeh antara dengan kelakuannya dan obrolan di TV.
"Jel, Jel, kamu toh ya, udah punya calon suami, mau nikah, masih aja kelakuan kayak perawan baru lulus sekolah. Eh, kalau udah pindah ke rumah Nino, jangan kentut sembarangan gitu lah. Malu-maluin!"
Secara tidak langsung mama mengingatkan dua hal yang tidak Anjela sukai. Tapi ia hanya mengernyit masam kembali melanjutkan makannya.
"Justru sekarang aku harus puas-puasin makan sama mama begini. Kita kan nggak pernah tahu keluarga Nino tuh kayak apa. Yah, walaupun dulu kelihatannya kayak orang kaya, tapi pasti nanti mama kesepian deh, aku tinggal sendiri di rumah. Nggak ada yang nemenin kecuali ikan-ikan mama, tuh." Anjela mengendik ke arah akuarium kecil yang ada di samping ruang keluarga.
Bukannya membalas, mama hanya tersenyum sendu. Ia menurunkan piringnya, lalu menatap serius ke arah Anjela.
"Jel, kenapa sih kamu nggak pernah mau jujur dari awal kalau sebenarnya kamu pacaran sama Nino?"
Hampir saja Anjela tersedak bakwan jagung. Tapi untungnya acara TV sedang melucu, jadi Anjela berpura-pura tertawa sambil menutupi refleks gugupnya. Mama tidak mengenyahkan reaksi itu dan tetap menunggu Anjela yang akhirnya berdeham sendiri dan menghabiskan makanan di mulutnya.
"Yah..." otak Anjela mendadak kosong. Sebenarnya lebih ke panik, sih. Seumur hidup ia belum pernah pacaran. Jika pun pacaran, ia tidak mungkin tidak cerita ke mama. Selama ini, satu-satunya teman hidup yang paling Anjela miliki hanya mama dan Julia. Kesannya tidak mungkin kalau ia harus backstreet karena malu. Tapi ia tidak mau berbohong yang lebih parah lagi. Ia harus memikirkan jawaban yang setidaknya masih sesuai dengan kenyataan walaupun sedikit...
"Mama nggak berekspektasi apa-apa selain kamu menikah, Jel. Enam bulan yang lalu, waktu kamu masih kerja di rumah selama dua tahun, itu malah bikin mama takut kamu nggak bisa dapat pacar. Sehari-hari di rumah doang, keluar cuman buat jalan pagi, nggak suka bergaul sama orang banyak, pilih-pilih teman. Siapa yang nggak khawatir kalau anaknya nggak punya calon di umur segini? Untungnya waktu itu, mama lagi berkontak sama Tante Heni. Pas banget dia nawarin pekerjaan yang sesuai sama jurusan kamu. Kalau nggak, mana mungkin kamu bakal nikah sama Nino, Jel?"
Bibir Anjela terkunci rapat. Sekarang ia tidak bisa menertawakan apa pun karena perkataan mama yang terasa tulus membuat hatinya tertusuk-tusuk. Barusan ia mau kentut lagi, tapi ditahan. Tidak mau merusak suasana.
"Dari dulu, waktu kamu kelas tiga SD, sebangku sama Nino, terus sebangku lagi kelas enam. Terus sekelas lagi sampai SMP dan bahkan sebangku lagi, mama kira itu hanya kebetulan yang lucu. Mama dan Tante Heni cuma bisa bilang kalau itu semua berkat kekompakan kita berdua. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata kalian berdua jodoh?"
Anjela melirik mama. Mata sendu yang terpancar dari wajah yang sudah nampak berkerut sedikit itu mengguyur Anjela dengan ribuan penyesalan. Ia menahan perasaannya dan meletakkan piring ke atas meja.
"Mama tahu, kalau kamu mungkin malu. Dulu mama sama Tante Heni sering jodoh-jodohin kamu. Makanya kamu nggak mau cerita, tapi kamu udah besar. Dua puluh lima tahun itu sudah masa-masanya kamu menerima sedikit demi sedikit perubahan. Mungkin kemarin-kemarin kamu masih sibuk berimajinasi di dalam kamar sendiri. Tapi siapa yang tahu kalau satu tahun berikutnya kamu sudah benar-benar keluar dan menghadapi kehidupan yang sebenarnya? Dan di saat itu tiba, mama benar-benar bangga sama kamu, Jel."
Tangan kiri mama yang tidak kotor meraih tangan kiri Anjela. Anjela jarang mendapat nasihat sedalam ini sebelumnya. Ia selalu bercanda dan mengatakan celetukan konyol bersama mama. Tidak pernah benar-benar menuangkan perasaan takut ataupun masalah yang bisa saja mengganggu mama. Tapi hari ini, ketika hal itu terjadi, Anjela benci jika ia harus melakukannya demi penipuan.
Kenapa mama harus setulus ini ketika semuanya ingin Anjela benar-benar resapi? Jika seandainya ia sedang benar-benar dilamar seorang pria yang ia cintai, mungkin ia bisa memeluk mama sekarang. Tapi untuk bergerak ke depan, atau menatapnya saja, Anjela tidak mampu.
Ia takut air mata yang menggenang jatuh kapan saja.
Dan mama tidak bisa merasakan kecurigaan itu sedikit pun karena sudah terlalu bangga dan terbawa suasana.
Jadi Anjela diam saja, mematung di tempat dan membiarkan tangan mama mengusap punggung tangan kirinya.
"Kemarin, pas kamu keluar, mama dan Tante Heni udah mendiskusikan pernikahan kalian. Bagaimana acaranya, di mana lokasinya dan EO mana yang bakal kita pakai." Mama menarik napas di sela-sela hidungnya yang berair lalu memindahkan tangannya kembali memegang piring dan melanjutkan makan.
Anjela sedikit merasa lega untuk itu tapi sekaligus penasaran dengan kabar itu.
"Mama... udah bahas sampai sana juga?"
"Ya. Ini nikahan kamu. Mama nggak mau biasa-biasa aja. Sedalam apa pun hubungan kalian berdua, yah, tetap aja, yang namanya perayaan itu harus dirayakan secara besar-besaran!"
Anjela menggigit bibir bawahnya, kembali melanjutkan makan dengan kikuk.
"Omong-omong soal acara nikah, sebenarnya tadi Nino juga bilang aku besok harus pindah sementara ke rumah utamanya."
Mama menoleh dan melotot ke arah Anjela. "Serius?"
"Nggak lama. Paling cuma tiga hari. Buat mengenalkan ke orang-orang rumah. Termasuk, Om Husein."
Mendengar nama itu, mama Anjela langsung meredup. "Orang itu. Yang bikin masalah hidup Heni semakin runyam. Kalau lihat dia, kamu harus lebih ramah. Mungkin dia emang udah jahat sama Tante Heni. Surat wasiat itu nggak bisa seenaknya diambil alih, tapi dia orang besar yang punya kuasa sama kayak Om Gun. Keluarga mereka mungkin kaya banget, lebih dari bayangan kita. Tapi kalau sampai kamu harus berhadapan sama dia, kamu harus jaga sikap. Jangan mau dipengaruhi sama orang kayak gitu. Oke?"
Anjela mengangguk dalam diam. Sebenarnya daripada terpengaruh, Anjela masih tidak yakin apakah ia bisa meyakinkan orang lain atas hubungannya dengan Nino. Tapi waktu, akan selalu berjalan. Dan Anjela, tidak bisa berpikir mencari cara terus. Ia tetap akan bertindak untuk menyelesaikan masalah. Besok, adalah waktunya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titah Agung
RomanceCompleted Pria idaman Anjela adalah seorang protagonis yang sering muncul di K-drama. Memang mustahil sih buat dapatin cowok sesempurna dan seindah di drama, tapi kalau usaha, nggak ada yang halangin, kan? Sayangnya, kehidupan Anjela sebagai penulis...