7 : Perubahan dalam semalam

2.1K 177 1
                                    

Anjela menghindari orang hanya dalam beberapa jam kemudian setelah ia dan Nino bertemu tadi siang. Ia menitipkan pekerjaannya ke Julia, teman kubikel di sampingnya ke Nino—ia juga meninggalkan perut laparnya siang tadi dan baru ingat ketika sudah sampai di rumah lalu buru-buru makan masakan mama.

Hari ini mama masak sop sosis kesukaan Anjela. Ia makan dengan lahap dengan mama yang kebingungan. Tinggal berdua dengan mama di rumah kecil milik papa yang sudah meninggal sejak ia SD, meski terkesan sepi, tapi Anjela sudah biasa. Mama punya toko baju bayi di pasar tengah kota. Ada satu ruangan yang dijadikan gudang tempat baju-baju. Kadang-kadang kalau pagi, beberapa staf toko suka datang ke gudang itu untuk mengambil stok. Jadi sudah biasa jika rumahnya tiba-tiba berisik dan kedatangan truk pick-up.

Setelah makan Anjela buru-buru masuk ke kamar, menghindar pertanyaan-pertanyaan yang bisa saja muncul di tengah meja makan. Mama sibuk merekap penjualan setiap hari di toko dan Anjela kembali duduk di kamar, berkutat dengan laptop dan memperhatikan perkembangan novelnya di platform.

Sekilas, Anjela jadi ingat perkataan Nino waktu di mobil tadi. Sebenci-bencinya ia waktu mendengar cowok terkesan merendahkan hobinya yang menghasilkan uang itu, jauh dari dalam hati Anjela, ia masih merasa terbebani dengan permintaan Nino. Kesannya selama beberapa jam ini, cowok itu masih belum menarik kata-katanya.

Bahkan dengan sikap penolakan Anjela begini, ia malah jadi merasa bersalah karena tidak menceritakan apa yang terjadi dengan Tante Heni ke mama. Padahal ia tahu kalau Tante Heni di mata mamanya sudah seperti sahabat sejoli. Selama ini walau mama dan Tante Heni tidak pernah bertukar pesan lagi—karena kendala keluarganya yang selalu tertutup dan segala hal tentang rumahnya, mama selalu bisa mengenal baik Tante Heni.

Meskipun Tante Heni sama jarangnya menceritakan masalah keluarga ke orang luar, tapi mama selalu memahami itu dan tetap menganggapnya sahabat sampai hari ini. Apa reaksi mama ya kalau tahu ternyata sahabatnya itu sedang berjuang bangkit dari bencananya?

Anjela tidak sanggup memikirkan itu. Membayangi wujud Tante Heni di rumah sakit tadi saja sudah bikin dia cenat-cenut. Dan perasaan itu malah jadi bikin Anjela merasa iba.

Surat wasiat.

Pernikahan.

Tahta.

Sebenarnya, keluarga Nino itu keluarga yang seperti apa, sih?

Dari luar, tiba-tiba suara bel rumah berbunyi. Anjela menyibak tirai lalu melongok ke luar. Karena posisi kamar Anjela paling luar, ia bisa melihat mobil terparkir tak jauh dari depan pagarnya. Tapi karena terhalang pagar, ia tidak bisa lihat itu mobil apa.

"Jeeeelll! Tolong bukain pintu itu ada Mang Oden kali mau masuk!" seru mama dari dapur. Anjela ikut berteriak di saat yang bersamaan bel kembali berdenting.

"Emang pagarnya dikunci?" seru Anjela balik.

Tapi mama tidak dengar. "JEELLLAAAA! TOLONG BUKAIN PINTUNYAA!!" suara mama membahana dari arah dapur sampai bikin Anjela berjengit kaget.

Anjela keluar kamar lalu berjalan malas ke depan garasi. Karena sudah memakai piyama dan siap tidur, ia malas kalau harus pegang-pegang pagar lagi. Bisa kotor. Tapi waktu ia menyeret langkah dan mengamati mobil yang lama-lama bikin dia sadar itu mobil siapa—terlebih...

Mata Anjela memelotot ke sosok pria bertubuh tinggi dengan jas dan kemeja setengah bersandar di depan kap mobil yang masih menyala. Pria itu juga ternyata melihatnya, ia langsung bangkit dan mendekat ke pagar.

"Jel," sapa pria itu.

"Lo—lo ngapain ke sini?" Anjela terbata-bata lalu langsung melihat ke pintu rumah. Panik, mama bisa saja langsung muncul di sana dan malah menahan Nino. Ia tidak boleh membawa Nino masuk.

"Panggil nyokap lo. Gue mau ngomong."

Perasaan Anjela sudah tidak enak. "Lo mau ngomongin soal surat wasiat itu? Nggak. Sekarang lo mending balik daripada gue teriak—"

"Jel, itu siap—loh, Nino?"

Sudah kepalang. Mama tiba-tiba muncul bak jin yang digosok dalam teko. Hari ini Anjela benar-benar merasa ketiban sial. Mama langsung menghampiri pagar dan mendorong Anjela menyingkir dari depan sana untuk membukakan pagar dan membiarkan Nino masuk.

Cowok itu mencium tangan mama dengan sopan. "Tante Vienna," sapanya.

Mama menyikut Anjela sampai ia mengaduh.

"Kok nggak bilang sih kalau yang datang Nino?" gerutu mama setengah menekan.

Anjela masih mengerut masam. "Ma..."

"Udah-udah. Yuk, Nino masuk dulu. Kebetulan tante habis makan malam. Kamu udah makan belum?"

Mereka berdua berjalan memasuki garasi dan rumah. Pintu pagar dibiarkan terbuka dan mobil terparkir di luar. Anjela mendengus kesal dan ia tinggal menerima nasib saja. Entah apa rencana cowok itu, tapi ia berharap—walau tidak mungkin dan sudah tertebak apa yang bakal Nino lakukan—ia menjauhi topik pernikahan itu. Seandainya ia memberitahu mama lebih dulu soal permintaan Nino hari ini, setidaknya ia bisa lega sedikit.

Tapi kalau begini, bisa-bisa Nino malah yang licik lebih dulu.

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang