13 : Pemberitahuan Julia

1.4K 121 3
                                    

"Jeeeell, lo jadinya udah kelarin drama Kingdom apa belum, sih? Duh, gue pengin ghibah tapi lo nggak mau di spoiler-in," gerutu Julia yang baru kembali dari toilet setelah jam makan siang berlangsung.

Setelah kemarin mengunjungi rumah sakit, baik Anjela atau pun Nino tidak mengatakan apa pun lagi. Mungkin Nino sendiri sedang pusing dengan keadaan hubungannya dengan Celine. Terlebih, ketika Anjela menguping, ia jadi paham betul perasaan Celine. Meskipun bisa dulu Anjela tidak begitu kenal dengan Celine, tapi ketika tahu perasaannya kemarin terungkap begitu, ia jadi semakin merasa bahwa patung yang mereka bawa dari sikap dan pendiriannya itu, benar-benar sangat kompak.

Anjela jadi berpikir diam-diam, apakah suatu hari nanti dia bisa dapat pacar dan suami yang bisa satu frekuensi seperti Nino dan Celine?

Meja Anjela mendadak di gebrak oleh Julia sampai ia terlonjak di kursinya.

"Aduh! Apaan sih, Jul?! Bikin jantungan aja," gerutu Anjela kembali tersadar dari lamunannya. Ia menarik kursi mendekat ke meja supaya bisa melanjutkan pekerjaannya. Setelah menikmati katering yang diberikan kantor setiap harinya, Anjela tidak berminat menyegarkan pikirannya selain berkutat ke komputer. Tapi semakin ia mencoba fokus dan Julia mulai menjauh karena sadar perubahan suasana hati Anjela pun kembali ke kubikelnya sendiri.

Saat Julia hendak pergi, Anjela menahannya. "Jul," panggil Anjela sambil melirik teman satu mejanya itu. Selain Julia, staf lain yang mengisi ruang divisi Lighting Design ini sebenarnya sedikit lebih tua dan jarang bisa diajak mengobrol untuk satu topik yang sama. Selain Julia dan Anjela, ada beberapa wanita lain yang sepantar. Hanya saja mereka lebih senang bergosip Nino beserta aura dingin yang menurut mereka menarik.

Julia mendekat sambil tersenyum kering. "Iya sori, gue nggak maksud mau ganggu lo. Gue tahu lo dari kemarin lagi sibuk banget ikut meeting Pak Nino ke sana-sini—"

"Bukan itu. Sini," Anjela menyuruh Julia mendekatkan telinganya lalu ia berbisik amat rendah, "gue disuruh nikah sama Nino."

Bukannya tersentak kaget atau apa, Julia malah menatap Anjela seolah ia tidak mendengar apa pun.

Dahi Julia mengerut tajam. Tangannya mengorek lubang telinga, "bentar, gue mendadak nggak bisa dengar apa-apa. Tadi lo bilang apa?"

Anjela mendengus dan mendorong bahu Julia yang kini berjongkok di depannya dengan tampang planga-plongo.

"Lo bukannya nggak dengar. Tapi nggak percaya."

Julia tertawa takjub, "Jela, gue tahu kerjaan lo banyak, berhubungan sama Nino emang bikin efek samping sih. Tapi jangan sampai kehilangan akal apalagi halusinasi gitu dong—"

Dengan sekali gerakan, Anjela menoleh lagi. Kali ini tatapannya dingin dan tajam.

"Gue sadar seratus persen. Lo ingat kan kalau gue dan Nino dulu sebenarnya teman sebangku."

Julia tidak menjawab. Hanya menjatuhkan rahangnya lambat laun.

"Ada masalah keluarga yang bikin dia harus nikahin seseorang."

Anjela melirik temannya itu lalu menoyor kepala Julia sampai tersadar.

"Iler lo netes tuh," komentar Anjela acuh tak acuh.

"Bentar—ini, ini... ini serius? Maksud gue... ya gue tahu lo dulu teman sebangku kan sama si Pak Nino. Tapi kenapa harus nikah sama lo? Bukannya dia punya pacar?"

Sebelum menceritakan kronologi dan surat wasiat yang dibilang Nino kemarin, Anjela menarik napas untuk mencari kekuatan. Selama bercerita, kening Julia mengerut dan terus mengerut sampai hampir saja ia kehilangan jidatnya. Tapi setelah itu, barulah Julia mendesah penuh arti. Seolah ia mulai paham apa yang selama ini membuat Anjela resah sendiri.

"Jadi Celine kasihan juga sih. Tapi yah, sekarang lo pikirin posisi nyokap Nino. Kalau gue jadi buta dan cuman bisa mengharapkan anak gue—which is Nino yang udah jempolan banget, ya—gue lebih baik Nino sama lo sih. Selain gue masih kesal sama Celine udah bikin suami gue kecelakaan, lo juga teman masa kecilnya Nino, kan? Nyokap kalian udah sokap banget. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Yang penting wasiatnya dapat. Eh, tapi yang gue bingung, kenapa notaris surat wasiat itu bisa nggak laporin ke hukum? Bukannya nggak boleh, ya? Setahu gue kalau saksi dari pembuatan surat wasiat itu malah berkuasa atas suratnya, dia bisa kena jera juga, loh."

Anjela melirik ke pintu. Seseorang ada yang baru masuk. Ruang kantor yang luas ini hanya terisi sebagian orang. Meskipun sibuk di kubikel masing-masing, tapi tetap saja mereka bercerita sampai berbisik-bisik.

"Notarisnya udah dihasut sama Pak Husein."

Julia membeliak. "Pak Husein, direktur utama maksud lo?"

Anjela mengangguk. "Setahu gue, karena Husein ini adiknya Om Gun, jadi yah, dia pasti punya kuasa tertentu buat bikin notaris pun tunduk sama kasus ini. Tapi sekarang gue merasa salah udah nerima permintaan Nino."

Beberapa detik, mereka berdua kalut dalam pikiran masing-masing. Julia menyeret kursinya semakin dekat ke kubikel Anjela sementara Anjela sibuk menggerak-gerakkan mouse ketika pikirannya berkelana ke hari-hari yang lalu.

"Hmm, sebenarnya, gue hanya melihat posisi lo sebagai malaikat Tante Heni sih," kata Julia. "Kalau gue mau menelaah lebih jauh, pernikahan memang kesannya sakral, sampai lo harus nipu nyokap lo juga. Tapi kan sesuai kata Nino sendiri, bukan? Lo ngelakuin ini cuma setahun aja. Demi warisan Om Gun balik dan Nino bisa jadi penerus perusahaan yang sah. Harusnya lo nggak perlu galau lagi."

"Susah untuk nggak merasa galau. Awalnya gue merasa dosa banget nipu nyokap gue, apalagi nikah. Orang-orang bilang nikah itu sakral, nikah itu ibadah. Tapi gue malah menodai itu demi kekuasaan Nino. Sementara... selain membohongi orangtua..." pikiran Anjela melalang buana ke wajah penuh air mata dari lorong temaram milik Celine kemarin. Ia mendesah pasrah. "Gue juga bikin hubungan Celine Nino semakin rumit."

Julia hanya mengangkat bahu. "Gue udah bilang, ini hanya nasib buruk Celine aja. Sisanya, semuanya pekerjaan lo. Lo yang udah ambil keputusan ini, maka lo juga harus tanggungjawab. Apa pun itu, walaupun ini kesannya rahasia, lo harus tetap cerita ke gue. Jangan sampai pikiran lo itu ngehasut hal aneh-aneh."

Anjela beralih ke Julia lalu menatapnya dengan senyum terima kasih.

"Anyway, kalau butuh bridesmaid, jangan lupa kabarin gue."

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang