16 : Malam malam resmi

1.3K 108 2
                                    

Nino memandang dirinya dari pantulan cermin di depannya. Jas beludru dan dasi hitam resmi yang sudah tidak lama ia pakai ini menjadi hal yang paling Nino segani. Kalau bukan untuk acara resmi, ia tidak pernah benar-benar berdandan seolah Nino—yang orang-orang kenal sebagai pribadi dingin dan penuh cetus pedas di kantor—tidak pernah ada. Dirinya yang ada di kantor dan di rumah mewah ini, sangatlah berbeda jauh.

Seperti ada dua dimensi kehidupan lain yang selama ini tumbuh dan menjadi sesuatu 'yang biasa' Nino hadapi.

Seseorang mengetuk pintu kamarnya lalu membuka tanpa diperintah masuk.

"Tuan Nino," begitu panggilannya di singgasana aslinya. Di dunia yang berbeda dimensi dengan dunia yang selama ini orang-orang biasa memanggilnya, Pak, Mas, atau Engkong. Kalau kata Anjela, panggilan itu sudah menjadi panggilan favorit orang-orang yang sebal kalau Nino mulai marah-marah.

Nino bangkit dari meja rias lalu mengambil ponsel di atas nakas samping ranjang. Seorang pria tua yang berambut sedikit beruban itu masuk sambil memegangi sebuah buku tangan.

"Makan malam sudah siap. Tapi Tuan Besar sedang menunggu Anda di ruangannya untuk berbincang sebentar."

Nino mengernyit. Sejak papa meninggal, panggilan Tuan Besar kini jatuh kepada Om Husein. Panggilan yang seharusnya menjadi miliknya itu—secara tidak tahu malu, menjadi panggilan adik papanya. Nino mendesah dalam hati. Di rumah ini, ia tidak boleh menolak atau mengajukan protes.

"Pak Yoh," kata Nino menatap ke pria tua yang sedikit bungkuk itu. Pak Yoh adalah pria yang selama Nino kecil sudah merawatnya. Ia yang mengatur pendidikan Nino, membantu Nino berkembang bersama-sama dengan mama dan papanya. Kadang-kadang Nino merasa lebih nyaman di dekat Pak Yoh daripada orangtuanya. Hanya saja, sejak papa meninggal, semua orang di rumah ini nampak asing dan menatapnya dingin. Seolah-olah mereka menolak keberadaan Nino di sini.

Sebagai informasi, ruang utama di Rumah Utama ini sudah diambil alih oleh Om Husein sejak surat wasiat yang turun dari notaris.

"Ya, Tuan Nino?"

"Apa mama dan Reno masih belum bisa pindah ke sini?"

Pak Yoh mengerjap sekilas lalu menunduk. "Bukan maksud saya untuk menolak, tapi... ini titah dari Tuan Besar Husein. Mereka melarang siapa pun tinggal di rumah ini sebelum Anda memenuhi syarat surat wasiat. Maafkan, saya, Tuan Nino."

Selama ini mama dan Reno memang masih di rumah sakit. Tapi Nino tahu kalau cepat atau lambat, pasti mereka akan menggusur wilayah sayap barat—tempat keluarga besar Nino berada. Rumah Utama ini pada dasarnya dibagi menjadi dua sesuai dengan kepemilikannya. Gunawan di bagian barat, sementara Husein di bagian timur.

Keputusan notaris untuk menurunkan surat wasiat langsung dilakukan setelah pemakaman papa. Nino mendengarkan semua surat wasiat yang dibacakan, tapi di sana, Om Husein selaku saksi pertama, mulai mendekati notaris dan membuatnya lambat laun mengambil alih kekayaan keluarga Gunawan.

Seolah-olah hal itu sangatlah wajar. Ditambah kondisi mama—yang sebagai saksi kedua surat itu sedang dalam kondisi koma dan melewatkan semua pemutusan surat itu sampai hari ini. Sampai di mana Nino tidak bisa menyuarakan pendapatnya juga karena sibuk mengurus adik dan ibunya.

Pak Yoh terus menunduk seakan permintaan maaf itu tidak cukup. Sekarang, Pak Yoh saja sudah terpaksa harus melayani Om Husein, Nino tidak bisa diam terus. Dia sebentar lagi akan menarik apa yang seharusnya menjadi miliknya selama ini. Jika meninggalkan Celine sebentar akan membuahkan hasil demi titah agung ayahnya, maka itu tidak masalah.

Bagi Nino, papa dan mamanya adalah orang yang tidak seharusnya menerima perlakuan Om Husein ini.

"Kalau bukan jabatanku di kantor, apa mungkin aku bakal diusir dari sini, juga?" tanya Nino sambil meratapi suasana kamarnya yang tenang. Sudah lama ia tidak tidur di ruangan ini. Karena secara harfiah, ia juga punya apartemen di dekat kantor, dan apartemen itu adalah rumah kedua sementara supaya bisa lebih cepat bolak-balik mengecek keadaan mama, Nino sedikit rindu bisa menempati ruangan ini lagi seperti dulu.

"Saya... saya tidak bisa menjawab itu, Tuan. Bukan hak saya untuk menjawab itu."

Untuk beberapa saat Nino terdiam cukup lama. Ia berpikir sendiri kemudian Pak Yoh berujar pelan.

"Tuan, sebaiknya Anda berunding dulu dengan Tuan Besar Husein. Beliau sudah menunggu Anda. Dan jika..." Pak Yoh mengangkat wajah. Memperlihatkan mata sendu prihatin yang selama ini ia pancarkan, "saya tidak bisa menyarankan apa pun selain Anda cepat-cepat menikah dan mengambil kembali apa yang seharusnya Anda miliki, Tuan..." Pak Yoh bicara nyaris berbisik. Kemudian ia menunduk dan berjalan ke dekat pintu. Membukakan pintu itu.

Pak Yoh benar. Mungkin selama ini ia masih sibuk dengan kondisi pemulihan mama dan Reno. Dibarengi dengan mengurus pekerjaannya, kadang-kadang itu sudah membuat penat. Tapi saat ini, semua rencana sudah ia miliki. Tinggal sejengkal lagi ia meraih keberhasilan itu.

"Terima kasih," gumam Nino sambil beranjak keluar.

Begitu ia melangkah ke koridor dengan lantai dilapisi karpet merah marun, di ujung belokan, ia menemukan seorang pria seumuran dengannya sedang bersandar ke dinding. Ketika melihat Nino, senyum di wajah pria itu langsung merekah. Rambut coklat keemasannya terlihat cerah dijatuhi lampu dinding.

Pak Yoh berjalan mendahului dan memberi mereka berdua ruang.

Nino memaksakan senyum sebaik mungkin, sebisa mungkin.

"No, katanya bokap gue nungguin di ruangannya. Oh ya, gue boleh jenguk nyokap lo kapan jadinya?"

"Hmm, malam ini atau besok juga boleh. Bukannya lo besok bakal jadi keluarga baru Holamp?"

Senyum cowok itu selalu lebih cerah daripada musim semi. Seolah-olah ekspresi cowok itu selalu jauh berbanding terbalik dengan milik Nino.

"Ah ya, omong-omong soal itu, kenapa lo sekarang nggak tinggal di sini lagi?"

"Apartemen gue lebih dekat dari kantor. Jadi nggak ribet juga." Nino berdalih.

"Oh gitu? Padahal gue berharap bisa ngobrol banyak sama lo. Baru balik dari Aussie nih, bosen banget." Cowok itu setengah merengek, tapi Nino hanya tersenyum kecil.

"Besok kan bisa. By the way, gue harus ketemu sama bokap lo dulu nih. See you at dinner."

"Nino," panggil cowok itu sebelum Nino berjalan terlalu jauh. Nino menoleh dan menunggu cowok itu mengatakan sesuatu.

"Sekalian antar gue ke pemakaman Om Gun juga, ya?"

***

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang