20 : Santap Malam

1K 90 8
                                    

Koper Anjela dibongkar. Dua pelayan yang masuk ke kamarnya dan mendorong sebuah gantungan besi panjang yang berisi beberapa pakaian dan gaun-gaun menghujam malam pertama Anjela dengan ribuan kultur syok. Ia berdiri di depan cermin dengan dalaman saja, sementara para pelayan terus bergantian menyuruhnya memilih pakaian mana yang ia suka. Anjela tentu bingung kenapa ia harus memakai semua pakaian itu di saat ia hanya ingin mengenakan baju seadanya. Tapi si pelayan terus-terusan bilang kalau di Rumah Utama, apalagi calon istri, harus selalu tampil cantik dalam busana di rumah.

"Apaan nih? Jadi gue harus kayak di Istana Merdeka gitu pakai baju rapi dan formal kayak kalian?"

Lalu pelayan itu hanya mengangguk dan buru-buru menyuruh Anjela memilih. Sebenarnya ia tidak begitu yakin tapi dari luar bangunan Rumah Utama ini saja, pikiran Anjela masih sulit menyadari kalau Nino—yang selama ini ia kenal ternyata benar-benar hidup di dimensi yang berbeda. Ia harus membicarakan kehebohan ini dengannya nanti. Setelah ia menyelesaikan urusan berpakaian yang merepotkan ini.

Setelah selesai berpakaian—dalam sekejap, Anjela merasa dirinya yang biasanya hanya mengenakan baju santai atau piyama jika di rumah langsung berubah menjadi orang lain. Ia memakai atasan berwarna biru dongker dengan potongan lengan sebahu dan rok mengembang sampai di atas lutut. Ia dipakaikan sepatu putih cantik yang dilapisi glitter tipis. Rambut panjangnya diatur sedemikian rupa dan ia dipakaikan anting-anting dan dirias seperti boneka. Dalam sekejap, Anjela jadi merasa kalau sosok di cermin itu bukan dirinya.

Tapi mau bagaimana lagi? Ini semua adalah pekerjaan yang sudah ia putuskan sjeak awal. Mungkin inilah cara hidup di dimensi lain seperti yang Nino katakan.

"Silakan Nona Anjela, keluarga sudah menunggu Anda di ruang makan." Salah satu pelayan sedikit menunduk dan mempersilakan Anjela untuk segera keluar. Ia menarik napas kecil lalu meyakinkan dirinya kalau ini adalah penyamaran terbaik—untuk membedakan dirinya yang menipu dan tidak. Sejauh ini, ia cukup menyukai dirinya yang didandan seperti ini, kok.

Anjela beranjak dan melongok ke luar pintu kamar untuk sejenak. Sebelum ia melangkah keluar, sebuah suara memanggilnya dari ujung lorong.

"Oh, Jela?"

Anjela menoleh dan ia terkejut waktu mendapati Rafael sedang berjalan ke arahnya dalam balutan jas rapi dan formal. Rambutnya yang keemasan dibiarkan acak-acakkan dengan poni nyaris menutup keningnya.

"Rafael? Kok kamu bisa di sini—"

Rafael membungkuk sedikit sampai matanya bisa sejajar dengan Anjela setelah ia memperhatikan pakaian Anjela. Ia menatap gadis itu sambil tersenyum selama beberapa detik.

"Wah, kamu cantik banget."

Anjela mengerjap sambil menunduk. Di lorong panjang itu, ia jadi merasa seluruh lukisan dan karpet lantai ikut menyetujui perkataan Rafael.

Sambil memasukkan tangan ke saku, Rafael terkekeh. "Rombakan Rumah Utama memang bikin kamu berbeda. Tapi aku tetap suka sih."

Tetap suka?

Anjela mengangkat wajah dan menatap Rafael yang lebih tinggi. "Ehm, kamu tinggal di sini juga?"

Keduanya kembali berjalan menyusuri lorong panjang menuju tangga untuk turun ke ruang makan.

"Sebenarnya semua keluarga Chang tinggal di sini. Rumah Utama ini diisi oleh anak-anak dari kakek Chang. Kakek kami. Tapi beberapa saudara kandung hari ini lagi datang untuk menyambut kamu, loh. Udah siap ketemu keluarga besar?"

Rumah Utama yang isinya hanya anak-anak dari Kakek Chang. Kakek Nino dan Rafael. Jadi, Om Gun dan Pak Husein tinggal di sini? Lalu Rafael ini anak dari yang mana lagi?

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang