18 : Pria rambut keemasan

1.3K 101 3
                                    

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul tujuh, Anjela menyeret koper kecilnya dari lift dan langsung menemui Ibu Mimi, seorang pengurus pantry yang biasanya sering menyediakan gorengan hangat untuk para pekerja. Anjela mendapat tatapan heran dari Bu Mimi yang sedang mengatur posisi pisang goreng dan tempe goreng di atas boks mika besar yang ada di kabinet dapur.

"Loh, Jel? Kamu ngapain bawa-bawa koper kecil? Isi lampu, kah?" tanya Bu Mimi karena sering melihat Anjela bawa koper berisi sampel lampu untuk meeting dengan para klien.

Anjela mencomot pisang goreng sambil menyandarkan pinggangnya ke kabinet sebelum ia masuk ke ruang kantor.

"Bukan," jawabnya sambil mengunyah, "ini isi baju."

Bu Mimi semakin heran. "Kamu mau kabur, hah? Waduh-waduh, ada masa—"

"Nggak, bukan ih bu. Jangan nethink dulu, dong. Ini cuman mau nginep aja di rumah temen. Soalnya bakal lembur sampai tiga hari ke depan."

"Elahdahlah, serius? Haduh kasihan ya. Jaman sekarang wanita karir itu kerjaannya emang kelihatan elite, tapi ibu suka kasihan. Hidupnya kerja, kerja, kerjaaa terus. Nggak ada istirahatnya. Mana kamu belum punya pacar lagi, kan? Duh, kurang-kurangin nurutnya sama Pak Nino. Emang sih Pak Nino itu ganteng, tapi kalau dia nggak mau nikahin kamu, jangan mau deh nurut-nurut sama dia! Tipu-tipu dikit aja." Bu Mimi berbisik sambil mengedipkan matanya. Hampir saja pisang goreng yang belum terkunyah rata itu menyangkut di tenggorokan Anjela. Tapi buru-buru ia tertawa kecil untuk menghalau ekspresinya.

"Nggak, bu. Aku segini udah pinter loh nipu-nipunya. Omong-omong bu, aku boleh nggak nitip koper ini di lemari ibu? Malu nih kalau aku sampai harus bawa ke dalam juga. Males juga nanti ditanya-tanyain orang soalnya kopernya beda sama koper sampel lampu yang biasa."

"Halah, ngapain malu kalau emang kerjanya teladan."

Setelah menitip koper ke Bu Mimi yang langsung menyimpankannya di lemari staf di belakang pantry, Anjela hanya terkekeh meladeni obrolan singkat dengan wanita itu. Ia membawa dua pisang goreng lagi dan berseru akan membayarnya nanti pas pulang. Sambil menggenggam dua pisang goreng yang diselimuti tisu, Anjela keluar dari pantry dan langsung disuguhi seruan seseorang dari meja resepsionis lobi.

Anjela terdiam sebentar. Ia menatap ke meja resepsionis yang ada di depan ruang kantornya. Seorang pria berambut coklat keemasan dengan kemeja putih dilapisi kardigan hitam selutut ikut menoleh. Mendadak, Anjela membeku di tempat.

"Jel! Tolong antar mas ini ke ruangan Pak Nino dong! Aku lagi harus urus surat ke lantai empat, nih. Tolong, ya! Pak Nino barusan aja udah masuk ke kan—"

Belum selesai si penjaga resepsionis berteriak, pria berambut coklat keemasan itu langsung mengangkat senyum dan melambaikan tangannya.

"Hai! Ketemu lagi! Kamu kan—"

Anjela berhambur maju. Dalam gerakan sedetik, ia berlari dan memasukkan pisang goreng ke dalam mulut pria itu tepat sebelum lidahnya mengucapkan kalimat lanjutan.

Pria itu membelalak kaget, Anjela menahan napas sambil memerintah bahwa otaknya memerintah hal yang benar sementara si penjaga resepsionis menganga.

"Jel itu tamunya Pak Nino lo apain...."

Anjela langsung menggaet leher pria berambut cokelat ini dan terkekeh. Sementara si pria itu mulai mengunyah pisang gorengnya dan menuruti gerak Anjela yang mengajaknya masuk ke ruang kantor.

"Nggak apa-apa. Santai aja. Gue bawa ke Pak Nino sekarang. Lo tenang aja."

Si resepsionis nampak kurang yakin tapi karena Anjela memaksa menarik pria itu, mau tak mau tidak ada lagi penjelasan dan Anjela berhasil selamat. Mereka berjalan memasuki ruang kerja yang belum begitu ramai. Untuk sejenak, Anjela melesak lega.

Titah AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang