Chapter 4 SA

41 4 0
                                    

"Mulai hari ini dan seterusnya, kita tukeran tempat duduk," jelas Sky. "Dan uang ini, sebagai gantinya. Jelas?"

Kedua siswa itu saling melirik, sebelum akhirnya salah satu dari mereka berkata asal, "Kalau seterusnya, tambah seratus ribu lagi-lah, Kay. Kamu tahu sendiri, kan? Enggak ada yang mau duduk di depan, kecuali orang-orang pintar seperti kalian."

Tanpa mendebat, Sky mengeluarkan dua ratus lagi.

Hal itu tentu saja kembali memancing reaksi terkejut dari ketiga orang di sana, menatap Sky heran.

"Kamu kenapa sih, Kay?" tanya salah satu siswa yang lain.

"Enggak apa-apa. Jadi cepet, mau enggak? Kalau enggak mau," Sky menunjuk meja sebelah bagian belakang. "... aku bisa kasih uang ini ke mereka."

"Eit, mau, kok, Kay," sahut yang satunya lagi, cepat. "Senang berbisnis denganmu, Kay," katanya lagi, kemudian meraih uang di meja.

Setelahnya dua siswa itu cabut dari sana, pindah ke bangku depan barisan kedua, tempat duduk Sky sebelumnya.

"Di zaman kita ini, uang adalah sumber masalah, Ki. Namun juga cara menyelesaikannya," kata Sky pada Yuki yang mendapat anggukan setuju dari Yuki.

Sky segera saja duduk di pojok, meletakkan tasnya, kemudian menyandarkan punggungnya di kepala kursi. Matanya mengedar ke seluruh ruangan, ada yang berbeda. Ruang pandangnya jauh lebih luas dibandingkan saat dia duduk di depan yang lebih sering melihat papan tulis. Lalu pandangan Sky terhenti menatap ke luar jendela.

"Jadi ini yang dilihat anak-anak yang duduk di belakang?" gumam Sky dengan arah pandang memperhatikan segerombolan siswa di bawah sana.

"Apa, Kay?" seru Yuki yang samar menangkap suara Sky.

"Enggak apa-apa, Ki. Ngerasa ... aneh aja. Biasanya duduk di depan, sekarang malah duduk paling belakang."

"Oh." Yuki menopang dagu dengan tangan kirinya dengan tatapan menoleh ke arah Sky. "Kamu enggak apa-apa, Kay?"

"Maksudnya?"

"Ya ... kamu terlihat beda, Kay. Kayak bukan kamu aja."

"Kita udah kelas sebelas, Ki, tinggal beberapa bulan lagi naik kelas. Rasanya sayang aja masa SMA yang sebentar ini kalau dilewatin gituh-gituh aja. Jadi ... ya aku pengen ngerasain hal yang berbeda aja."

"Setuju."

Tak lama bel berbunyi. Siswa-siswi yang masih di luar bergegas masuk. Sky seperti biasanya langsung mengeluarkan buku pelajaran. Sedangkan yang lainnya masih sibuk berbincang dengan teman sebangku masing-masing. Sementara Yuki sibuk dengan gadgetnya. Dan penghuni kelas, baru akan diam begitu guru pengajar datang.

***

Terlambat sedetik saja usai bel istirahat berbunyi, maka sudah dipastikan Sky dan Yuki tidak akan mendapatkan tempat duduk yang memang sangat terbatas, seperti saat ini.

Namun dengan langkah meyakinkan, Sky menuju salah satu meja yang sudah dipenuhi siswi-siswi yang Sky tahu mereka adalah anak tingkat satu.

"Aku mau duduk di sini," ucap Sky dengan sorot mengintimidasi.

Siswi-siswi di meja itu bertukar pandang heran, namun ada rasa takut yang menghinggapi mereka. Senior yang dikenal baik dan ramah tiba-tiba bersikap seperti itu? Bingung? Sudah pasti. Tetapi aura Sky yang tidak main-main dengan ucapannya itu berhasil membuat siswi-siswi itu bersepakat untuk mengalah.

Sayangnya ...

"Woi!"

... Sky keburu menggebrak meja dengan amat keras.

Hal itu sontak memicu yang lain untuk melihat ke arah mereka. Yuki yang tidak menyangka tindakan Sky akan sekasar itu sampai berjengit kaget.

"Kalian budek, ya?!" kata Sky lagi. "Aku mau duduk di sini."

Tanpa berani mendebat, keenam siswi di sana yang ketakutan dengan sikap Sky, lantas bergerak pergi.

"Tunggu!" cegah Sky.

Langkah keenam siswi itu terkunci di tempat, bertukar pandang, sebelum akhirnya kembali menghadap Sky.

"Ada apa, Kak?" tanya salah satu dari mereka.

"Pesenin aku siomay dua porsi. Plus minumannya dua, jus alpukat," titah Sky sembari mengeluarkan uang seratus ribu dan meletakkannya di meja.

Keenam siswi terdiam, tidak ada satu pun yang mengambil uang itu.

"Cepet!" gertak Sky pada mereka.

Salah satu dari mereka langsung saja mengambil uang itu dan bergegas pergi dari sana untuk membelikan pesanan Sky.

"Kay, kamu kenapa sih?" tanya Yuki kemudian ikut duduk di hadapan Sky. "Lagi ada masalah?"

"Semua orang punya masalah, Ki."

"Ya aku tau. Maksudku, kamu lagi ada masalah berat yang lagi kamu hadepin? Masalah apa? Keluarga kamu? Coba cerita, Kay. Jangan kayak gini."

"Enggak apa-apa." Sky membalas malas.

Hingga sorot matanya terkunci pada ketiga sosok yang balik menatapnya bersamaan dengan jarak mereka yang semakin dekat.

"Kamu mau jadi jagoan di sini?" tanya salah satu dari mereka begitu sampai di meja Sky.

"Maksud?" Alis Sky terangkat satu menghadapi ketiga kakak kelasnya. Tidak ada rasa hormat dari cara Sky menatap ketiga seniornya.

Siswi tadi mendengkus. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sky. "Jangan sok!" katanya. "Anak berprestasi kayak kamu, udah, jadi babu sekolah aja. Jangan sok jadi penguasa!"

Sky bangkit dengan raut menantang, balik menatap sengit seniornya. "Kenapa? Takut pamornya jatuh karena kalah saing sama juniornya?"

"Kay." Yuki berusaha mengingatkan Sky. Karena yang sedang dihadapi Sky bukan sembarang siswi. Ketiga siswi itu adalah tukang rundung di sekolah yang sudah keluar masuk ruang BP. Hanya saja karena mereka dari kalangan berada, mereka pun tidak bisa dikeluarkan. Lagi-lagi uang berbicara.

"Berani juga nyalimu, anak cupu!"

Dibilang cupu, Sky tidak terima. Dia lantas melangkah yakin mengikis jaraknya dengan sang senior, membuat wajah mereka sangat dekat dengan sorot saling mengunci.

"Jangan kamu kira karena aku anak mama yang berprestasi, lantas berpikir bahwa aku tidak tau rumor tentang kalian di kalangan para cowok."

Siswi yang dihadapi Sky sedikit menurunkan alisnya, namun hanya sepersekian detik sebelum kembali menukik tajam. "Mak-sud?!"

"Piala bergilir."

...

Sky Arletta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang