Chapter 15 SA

19 4 0
                                    

🌸 MALL 🌸

🌸Di dalam sebuah rumah berlantai dua, tepatnya di meja makan, di sinilah Rehan berada. Dia menikmati sarapannya dengan sang kekasih, Weny.

"Pelan-pelan, sayang." Weny mengusap kecap yang menempel di sudut bibir kanan Rehan.

Rehan tersenyum kecil. "Sengaja biar diusap sama kamu."

Senyuman Weny merekah indah bak bunga yang mekar di pagi hari, sayangnya senyuman itu mengandung racun. "Bisa saja kamu, Mas." Dia menoel hidung Rehan.

"A." Dengan tangannya, Rehan menyodorkan potongan ayam ke mulut Weny, bermaksud menyuapkannya.

Hal itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Weny.

"Ternyata benar, ya, makan dari tangan orang lain itu jauh lebih enak," kata Weny setelah mengunyah beberapa kali makanan di mulutnya dan menelannya.

Dengan lengkungan bibir yang indah, Weny balik menyuapi. Rehan senang, sangat senang. Dengan alasan pekerjaan, Rehan berhasil membohongi putrinya.

"Agak siangan nanti kita ke mall, yuk, Mas. Beli baju dan lain-lain. Kangen jalan-jalan sama kamu," ucap Weny usai menyantap makanannya.

"Harus hari ini, ya?"

Weny mengangguk manja.

"Ya sudah, kita ke mall. Tapi ... aku takut ketahuan Sky."

"Enggak akan, Mas. Dia kan masih sekolah kalau siang? Kamu kan pernah bilang, kalau Sky biasanya pulang sekitar jam dua lebih, atau kadang sore. Makanya biar puas jalan-jalan di sana, kita jadi pengunjung pertama yang dateng, Mas."

"Ya sudah, Mas setuju aja. Apa sih yang enggak buat kamu?"

"Kalau gituh cepet kenalin aku ke anak kamu dong, Mas. Jangan sembunyi-sembunyi terus kayak gini. Capek, Mas."

"Sabar. Kamu udah janji kalau kita enggak akan terburu-buru buat nikah, kan?"

Weny mengerucutkan bibirnya. "Iya sih, tapi aku enggak sabar aja kamu nikahin aku, Mas."

Rehan mengangkat tangan kirinya dan mencubit lembut pipi Weny. "Sabar ya, sayang. Waktunya masih belum tepat."

Pasang wajah merajuk, Weny menurunkan tangan Rehan dari pipinya. "Emang waktu yang tepat itu kapan?" Weny melipat tangan di depan dada.

"Hei." Rehan dengan sabar menyentuh dua bahu Weny agar menghadapnya. "Tunggu beberapa bulan, ya? Setelah itu kita menikah. Aku cuma sedang memberikan Sky waktu untuk terbiasa dengan kehidupan barunya. Jadi aku harap kamu ngerti, sayang. Jangan marah, ya? Nanti kamu tambah cantik kalau marah."

"Ya udah, iya." Weny menepis kedua tangan Rehan dari bahunya. Kemudian dengan wajah yang masih ditekuk, dia bangkit dari duduknya.

"Hei." Rehan segera saja melingkari pinggang Weny dari belakang. "Jangan marah, aku janji bakal nikahin kamu, kok."

Weny diam.

"Kalau kamu diemin aku, aku enggak akan lepasin kamu."

Weny menoleh, sedikit mendongak, mereka saling menatap dengan sorot sayu. "Kalau begitu aku akan terus diam agar kamu tidak pernah melepaskanku, Mas."

Pelan, Rehan menelengkan kepalanya, mengikis jaraknya dengan wajah Weny. "Kalau begitu lakukan."

***

Setelah dari dapur, Sky benar-benar beberes rumah. Nyapu, ngepel, lalu berlanjut menyapu halaman rumah. Sementara Bi Wen sibuk dengan kegiatan memasaknya sembari bersenandung.

Selesai dengan aktivitasnya di luar, Sky beranjak masuk kamar. Dia berlanjut membersihkan kamarnya hingga aroma asap rokok berganti aroma wangi yang menenangkan. Sampah puntung rokok dia bungkus pada kantong plastik hitam, diikat rapih. Sky sendiri yang langsung membuang sampahnya di tempat sampah depan rumah. Nanti akan ada petugas kebersihan kompleks rumah yang mengambil.

Sky kembali ke kamar, kaki jenjang membawanya menuju ponsel yang sedang diisi daya. Melihat daya beterai hampir penuh, Sky mencabutnya.

Kemudian Sky mengusap layar ponsel karena ada pesan masuk juga panggilan tak terjawab dari mamanya.

Mama: Sky, kalo udah bangun kasih tahu Mama.

Sky mengetikkan balasan.

Sky: Udah bangun kok Ma.

Tak lama ponsel Sky berdering, panggilan dari sang mama. Tanpa berpikir lagi, Sky menekan tombol terima.

"Hallo. Assalamu'alaikum, Sky."

"Wa'alaikum salam, Ma."

"Udah berangkat sekolah?"

"Libur."

"Perasaan bukan tanggal merah. Libur sendiri?"

"Iya, Ma. Sky males ke sekolah. Daripada di sana enggak belajar, mending istirahat di rumah, kan?"

"Kenapa sih? Ada masalah di sekolah?"

"Dibilang cuma males aja, Ma."

"Jangan boong. Ada masalah sama papa kamu?"

"Enggak, Ma."

"Ya udah, Mama percaya. Terus kamu udah sarapan?"

Bertepatan dengan itu, pintu kamar Sky diketuk dari luar. Segera saja Sky berjalan ke pintu untuk membukanya.

"Sudah matang, Nak Sky," ucap Bi Wen memberitahu.

"Iya, Bi." Sky mengikuti langkah Bi Wen menuju dapur.

"Sky." Suara Syeril yang menunggu jawaban dari Sky terdengar lagi.

"Ini mau makan, Ma. Mama sendiri udah makan?"

"Udah, sayang."

"Oh, iya. Mumpung ada Bi Wen nih, Ma. Mama mau tahu Bi Wen, kan?"

"Boleh. Tapi tunggu sebentar ya Sky. Nenek kamu manggil Mama."

Telepon dimatikan oleh mama Sky dari sebrang sana.

"Segini cukup, Nak Sky?" kata Bi Wen yang mengambilkan nasi untuk Sky.

"Cukup, Bi."

Sebenarnya Sky masih kenyang karena makan semalam, tetapi tidak enak hati dengan Bi Wen.

Beberapa saat kemudian ponselnya kembali berdering, video call.

Sky langsung menekan terima.

"Bi," panggil Sky pada Bi Wen yang sedang menyiapkan makan untuk dirinya sendiri. Ya, setiap harinya Bi Wen memang ikut makan pagi bersama Sky dan papa Sky. Jadi tanpa menunggu disuruh, Bi Wen sudah berinisiatif.

"Ya, Nak Sky," sahut Bi Wen setelah kembali duduk.

Sky beralih duduk di dekat Bi Wen untuk menunjukkan layar ponselnya ke Bi Wen.

"Mama mau tahu Bi Wen yang usianya masih tujuh belas tahun," ujar Sky memberitahu.

Bi Wen tersipu malu seraya tertawa kecil, teringat dengan perkenalan pertamanya dengan Sky.

Kemudian Bi Wen, Sky, dan mama Sky mengobrol lewat panggilan video itu.

Ada tawa di wajah Sky, namun penuh kepalsuan. Dan tanpa Sky sadari, mamanya mengamati dari balik layar.

"Kamu enggak apa-apa, kan, sayang?" batin Syeril mengkhawatirkan keadaan Sky.

***

Sky Arletta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang