09. Mempertanyakan Sebuah Kebahagiaan

1.4K 181 33
                                    

Please, don't be a silent reader.

Happy reading .....

Kebahagiaan adalah tolak ukur sebuah kehidupan.
sederhana, tapi serasa sulit didapatkan.


-—  L O S E  —




.


.



.




.







Saat membuka pintu rumahnya, Skala cukup terkejut ketika melihat presisi Galen dan Cio di sini. Ada apa mereka ke rumahnya pagi-pagi sekali, pikirnya.

“Skala, lo lagi sibuk nggak? Kita mau bicara hal serius sama lo.”

“Gue lagi nggak sibuk, kok. Kalian mau ngomong apa?”

Cio terlihat melirik ke sekitar. Ia bisa melihat ada dua mobil yang terparkir di depan rumah Skala. “Orang tua lo lagi di rumah?”

Sedikit tak mengerti mengapa Cio menanyakan kedua orang tuanya. Namun Skala hanya mengangguk saja sebagai jawaban.

“Bisa kita bicara di luar?”

Skala hanya mengangguk mengiyakan. Kemudian mereka pergi ke kafe yang berada tak jauh dari komplek perumahan Skala. Sampai saat ini pun Skala masih tak mengerti dengan hal apa yang akan Cio dan Galen bicarakan.

Hingga akhirnya mereka sampai di kafe, barulah Skala menanyakan apa yang mau kedua cowok itu bicarakan padanya. “Apa yang mau kalian bicarain sama gue?”

Galen menyandarkan tubuhnya ke belakang, menghela napas kemudian. “Kemarin kita ketemu sama Angkasa,” ucapnya.

“Tapi Angkasa nggak ngenalin kita,” sahut Cio.

“Tapi kita berdua yakin, kalau itu memang Angkasa,” lanjutnya.

Tak heran lagi jika mereka berdua membicarakan hal ini sebenarnya. Karena nyatanya Skala sudah lebih dulu bertemu dengan Angkasa sebelum mereka.

“Dia memang Angkasa. Tapi dia amnesia, dia nggak ingat sama gua atau pun yang lain.”

“Amnesia?” lirih Galen.

Tentu mereka shock dengan itu semua. Tapi di sisi lain, semuanya terjawab sudah. Pantas saja jika Angkasa kemarin tak mengenalnya.

“Tapi Angkasa masih tinggal sama Om Bram, ‘kan?” tanya Cio.

Skala menghela napas panjang. “Harusnya iya, gue nggak tahu pasti, tapi untuk saat ini yang gue tahu Angkasa tinggal sama Alvin juga Kean.”

“Tunggu, lo udah ketemu sama Angkasa?” tanyanya.

Cowok itu mengangguk. “Pertama, gue ketemu sama Angkasa di bandara. Lalu setelahnya gue cari tahu tempat tinggal Angkasa. Dan Angkasa tinggal di apartemen sama Alvin juga Kean.”

“Terus gimana? Angkasa masih nggak ingat siapa lo?”

Pertanyaan Cio sebenarnya sangat sederhana dan mudah. Namun, Skala merasa berat saat menjawabnya. Terlebih sulit sekali ia menerima fakta jika Angkasa benar-benar telah melupakannya.

Ada perasaan sesak yang menyiksa Skala ketika mengingat jika Angkasa sudah melupakannya. Apalagi, mungkin memang Angkasa tak akan mengingatnya lagi seumur hidupnya.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang