66. Perihal Kehilangan

1.3K 156 43
                                    

Happy reading .......

Perihal kehilangan, bukan hanya dia yang
Tiba-tiba hilang tanpa sebuah kata.
Tapi aku juga kehilangan rumah
tempat ku bercerita.

— Angkasa C. Bramanta

.

.

.

.


“Setelah ini, gue pulang ya, Sa?”

——————————————————

Dita membuka pintu kamar rawat Angkasa. Ia tersenyum saat melihat Angkasa dan Skala tidur berdua. Ia lantas mengeluarkan ponselnya dan memotret moment hangat ini. Nanti ia akan menunjukkan foto ini pada suaminya.

Wanita paruh baya itu lalu duduk di sofa yang ada sudut tempat ini sambil menghubungi Diki.

“Pa, ada di mana sekarang?”

“Lagi di kantin sama Vino. Kenapa Ma, Skala atau Angkasa nggak kenapa-napa, ‘kan?” Terdengar nada khawatir di seberang sana.

“Mereka lagi tidur, Pa. Bentar Mama kirim fotonya. Gemes banget tau.”

“Papa jadi penasaran.” Terdengar tawa ringan dari Diki.

“Udah Mama kirim, coba deh lihat.” Dita tak berhenti tersenyum saat melihat kedua putranya.

“Ma, bangunin aja Skala. Mereka pasti nggak nyaman tidur berdua kaya gitu. Nanti yang ada bangun-bangun badan mereka sakit semua. Kasihan juga Angkasa, dia masih sakit. Suruh Skala pindah ke ranjang di sebelah.”

Ya, kamar rawat ini memang masih ada dua ranjang di dalamnya. Dan Dita mengangguk setelahnya meski Diki tak melihatnya. “Sebenarnya Mama nggak tega. Soalnya pulas banget tidurnya. Tapi sebentar Mama coba.”

“Papa ke sana sebentar lagi.”

Setelah mematikan sambungan telponnya. Dita lantas melangkah mendekat pada ranjang yang mereka tempati. Memperhatikan wajah damai kedua putranya yang tengah terlelap.

Ia menyentuh bahu Skala kemudian. “Skala, bangun dulu yuk sayang,” bisik Dita di telinga Skala.

“Skala,” panggilnya lagi. Tapi anehnya tak ada respons. Padahal biasanya Skala akan cepat terbangun walau Dita hanya memanggil namanya saja.

Lagi-lagi Dita menepuk bahu Skala pelan. “Skala, bangun yuk. Pindah ke tempat sebelah.”

Namun masih seperti tadi, Skala sama sekali tak terusik. Justru Angkasa yang bergerak sedikit dalam tidurnya. Dita cemas, ia segera menyibak selimut yang membungkus tubuh Skala. Dan memegang telapak tangannya Skala yang terasa begitu dingin.

“Skala, sayang,” panggil Dita lagi dengan suara yang bergetar. Wanita paruh baya itu memperhatikan dada Skala yang begitu tenang dan tidak ada pergerakan apa pun di sana. Dita menyentuhnya, dan menggeleng pelan dengan air mata yang berlomba-lomba untuk turun.

Dengan tangan yang bergetar hebat, Dita meraba denyut nadi di pergelangan tangan Skala dan ... Ia tak menemukannya.

“Skala .... ” lirihnya. Tubuhnya melemas seketika dan terjatuh ke lantai. Dita menggigit bibir bawahnya dalam dan menutup mulutnya agar tangisannya tak begitu terdengar.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang