34. Dia Kembali ....

1.7K 209 41
                                    

Happy reading .....

Hidup itu tak ubahnya seperti air yang mengalir,
seperti ombak yang menyapa daratan, seperti
matahari yang selalu bersinar setiap pagi.
Ucap seseorang yang masih memperjuangkan
hidup dan kehidupan.




—  L O S E  —





.






.





.




.











Jika saja ia tak kehilangan ingatannya dulu, mungkin rasa sakitnya akan berbeda, atau bisa jadi, malah rasanya sakitnya akan lebih parah?

Angkasa menatap lurus ke depan, memperhatikan dua anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran itu dengan riangnya. Mungkin, memang akan lebih menyenangkan jika menjadi anak kecil. Mereka selalu tertawa dan bermain seolah tanpa beban.

Agaknya, dunia anak kecil memang semenyenangkan itu.

“Lo di sini?”

Hingga suara yang terdengar ada di sampingnya membuat Angkasa menoleh. Di sini, sudah ada Nata yang saat ini ikut mendudukkan dirinya di samping Angkasa.

Suasana taman ini lumayan sepi. Hanya ada dua anak kecil tadi yang berada jauh di depan sana dan tentu ada dirinya dan Nata di sini yang entah dari mana datangnya.

“Skala mana? Tumben sendiri, dari kemarin gue lihat lo bareng Skala terus.” Nata membuka suaranya lagi setelah tadi kalimatnya tak mendapatkan balasan dari Angkasa.

“Sakit.”

Singkat, padat dan jelas itulah yang Angkasa suarakan. Ia tak membenci Nata, sungguh. Tapi jauh di hatinya ia masih merasa kecewa. Entah sampai kapan rasa sakit hati itu hinggap di hatinya.

Setelahnya hanya ada hening dan suara angin yang berembus kencang di tempat ini yang mendominasi. Baik Angkasa maupun Nata sama-sama bungkam. Dalam pikirannya, Nata sedang merangkai sebuah kalimat yang sampai sekarang tak kunjung ia suarakan.

Sedangkan Angkasa sendiri memang hanya ingin diam. Ia masih menenangkan diri akibat kenyataan tentang sakitnya Skala.

“Hari ini lo pulang ke rumah nggak?” tanya Nata akhirnya.

“Lusa.”

Ya, memang sekarang Angkasa bebas tinggal di mana pun. Tapi sebagai anak yang ingin berbakti pada orang tuanya, Angkasa lebih memilih bolak-balik dari rumah Dita ke Bram. Angkasa rasa itu adalah pilihan yang terbaik.

Karena jika tidak, baik mama ataupun papanya pasti akan bersaing, memaksa ia untuk tinggal di rumahnya masing-masing.

Seolah kehabisan kata, Nata benar-benar tidak bisa memikirkan bagaimana agar Angkasa benar-benar memaafkannya. Terbukti dengan cowok itu yang sampai sekarang masih bersikap dingin padanya.

“Lo belum mau balik, ‘kan? Tunggu bentar ya, gue mau beli minuman. Lo mau nggak?”

Angkasa melirik sekilas wajah Nata. “Ice cream.”

“Hah?”

“Ck! Beliin gue ice cream!” Angkasa berdecak kesal dengan ke loading–an Nata.

Tentu hal itu sejenak membuat Nata terbengong-bengong, sebenarnya saudaranya itu sedang kerasukan apa? Kenapa aneh sekali, bahkan sampai memintanya untuk membelikan ice cream.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang