Happy reading ....
Terkadang, keegoisan tak jarang membuat
seseorang terluka. Tapi jika demi kebaikan,
rasanya tak apa, bukan?— L O S E —
.
.
.
.
Skala dan Nata masih duduk terdiam di depan ruang rawat Sena. Ini benar-benar di luar kuasa mereka. Sepotong memory milik Sena kembali, namun yang membuat situasi semakin rumit adalah ingatan itu hanya tentang Benua.
Tidak ada ingatan tentang mereka berdua di dalamnya. Ketakutan itu semakin tinggi ketika mungkin saja Angkasa akan membencinya dan tak mempercayainya lagi. Skala benar-benar tak tahu harus apa sekarang.
Keadaannya memang rumit, tapi di sisi lain Skala juga bersyukur karena yang Angkasa ingat hanya tentang Benua. Itu artinya tidak ada Alvin di dalamnya. Bukankah, posisi mereka sekarang sama?
Cowok itu jadi tak akan bisa membanggakan dirinya lagi di depannya. Bahkan mungkin setelah ini, kepercayaan Angkasa pada Alvin juga akan ikut hilang.
Skala melirik sedikit ke arah Nata yang tengah bersandar ke belakang dengan mata yang memejam. Skala sangat yakin jika Nata tidak tidur, tapi Skala juga sangat malas mengajak Nata berbicara, terlebih mungkin hal itu bisa memancing keributannya lagi dengan cowok itu.
Sudah nyaris jam 3 pagi dan sampai saat ini Skala tak bisa tidur, ia juga tak betah dalam keheningan yang berkepanjangan seperti ini. Apa lagi, Nata juga tak berminat mengeluarkan suaranya sejak tadi.
Cowok itu menghela napasnya berkali-kali. Menatap lurus pada ujung sepatunya. “Gimana rasanya, Al?”
Ya, setelah sekian jam mereka duduk bersama, akhirnya Skala lebih dulu mengeluarkan suaranya. Walau beserta sedikit nada sindiran di sana.
“Nggak enak ‘kan rasanya nggak dipercaya? Apalagi sampai dilupain,” sambungnya lagi dan Nata masih bungkam.
Agaknya kalimat itu benar-benar menyentil hati Nata sampai rasanya begitu perih dan sulit didefinisikan dengan kata-kata.
“I know, mau gimana pun ini salah kita. Kalau tadi kita nggak berdebat, mungkin sekarang kejadiannya nggak bakal serumit ini.”
Lagi dan lagi Nata masih bungkam, tapi kedua netranya kini telah terbuka, menatap lurus ke atas.
“Tapi gue juga bersyukur, karena yang Angkasa ingat itu Benua. Jadi dari sini bukankah itu sebenarnya tamparan buat kita?”
“Kita berdebat seolah memperebutkan Angkasa. Padahal, Angkasa bukan barang yang bisa kita rebutkan seenaknya.”
“Kita sama-sama terluka di sini, saling mempertahankan keegoisan kita. Tapi lo tahu?” Skala menjeda kalimatnya sejenak. Mengalihkan pandangannya sepenuhnya pada cowok itu.
“Angkasa pasti lebih terluka di sini. Dia pasti bingung dengan ini semua dan itu yang gue takutkan. Dia udah berusaha untuk mempercayai orang-orang di sekitarnya, tapi apa yang Angkasa dapat?” Skala menggeleng pelan. “Nggak ada! Dia justru kembali dikecewakan.”
“Bagi gue, walaupun sakit, nggak papa Angkasa nggak ingat gue. Asal dia bisa bahagia dengan layak, terlebih nggak dibohongi.”
Skala menghirup napasnya dalam-dalam kala sesak itu tiba-tiba hadir. Membayangkan berada di posisi Angkasa membuatnya ikut sakit. “Gue masih bisa bangun kenangan-kenangan baru yang bisa Angkasa ingat sekarang. Hanya hal sesederhana itu sebenarnya. Tapi, kalian semua sudah hancurin tatanan itu saat merubah identitas Angkasa menjadi Sena.”
KAMU SEDANG MEMBACA
L O S E
FanfictionSEQUEL STORY "NOT YOU || BROTHERSHIP" Disarankan membaca story NOT YOU terlebih dahulu, agar tahu jalan cerita (story) ini. *** Mereka hanya setitik cahaya yang menginginkan bahagia. Mereka juga setumpuk luka yang ingin menemukan obatnya. *** "Lih...