57. Rasa Takut

1.1K 172 33
                                    

Happy reading ........

Sebuah penyesalan tak akan mengubah apa
-apa, selain rasa sakit yang justru tak
kunjung mereda.

—  L O S E  —


.



.



.




.





Angkasa membuka matanya dan terbangun tepat jam 9 pagi. Tubuhnya masih begitu lelah akibat jalan-jalan kemarin, pantas saja ia jadi bangun kesiangan. Ini juga karena Skala yang tak membangunkannya.

Ah iya, Angkasa lupa jika saat ini tengah menginap di rumah ayahnya, Bram. Dan mengapa ia justru mencari Skala yang jelas tidak ada di sini?

Ia melirik lagi jam yang ada di dinding. Tunggu, ini benar sudah jam 9 pagi? Angkasa mengucek matanya dan menguap lebar. Bisa-bisanya ia masih mengantuk. Padahal sebentar lagi ia harus segera berangkat ke kampus.

Angkasa bangkit dan berjalan keluar dari kamarnya. Masih sedikit linglung karena nyawanya masih belum terkumpul dengan sempurna. Ia ingin ke bawah dan mencari Nata. Tidak mungkin dia sudah meninggalkannya dan berangkat ke kampus lebih dulu, ‘kan?

Jika iya, Angkasa sungguh ingin menendang saudara tirinya itu. Angkasa masih menguap lebar sesekali mengusap matanya. Akibat tak berhati-hati dan ceroboh, pijakannya di anak tangga kedua tiba-tiba goyah, Angkasa kaget tapi tetap tak bisa menjaga keseimbangannya dan terjatuh berguling hingga anak tangga terakhir.

Samar-samar Angkasa membuka matanya, pandangannya mengabur. Dengan lemah, ia menyentuh kepalanya dan mengerang kesakitan. Kepalanya begitu sakit, seperti ada batu besar yang menimpanya.

Arghhhhh.” Angkasa meringkuk kesakitan di bawah tangga. Samar, potongan ingatan demi ingatan tentang masa lalunya kembali. Semakin menambah kesakitan yang ia rasakan.

Dari ia kecil, hingga beranjak remaja. Perpisahan kedua orang tuanya. Kecelakaan yang ia alami bersama Benua. Hingga, sampai di mana ia bertemu dengan satu sosok bernama Skala. Semua ingatan itu silih berganti memenuhi ingatannya.

Angkasa menatap plafon yang terlihat berbayang itu dengan napas yang tersengal-sengal. Kedua netranya memanas, dan terasa perih. Kepalanya memang begitu terasa sakit, tapi ingatan itu, jauh terasa sakit dan terasa melegakan dalam waktu yang bersamaan.

Sudah sejauh itu hal-hal yang ia lupakan? Bahkan Angkasa juga melupakan hal-hal yang paling berharga di hidupnya. Air matanya jatuh saat ingatan itu masih saja hadir di kepalanya. Bau anyir yang Angkasa yakini berasal dari kepalanya yang terluka, total ia abaikan.

Hingga samar-samar ia mendengar suara seseorang yang berteriak memanggilnya.

“ANGKASA!”

Nata bergegas menuruni tangga dengan rasa cemas yang luar biasa. Ia begitu terkejut saat mendapati Angkasa yang meringkuk di bawah sana dengan cowok itu yang mengerang kesakitan.

Lebih shock lagi, Nata melihat dahi Angkasa yang mengeluarkan darah. “Angkasa, ada yang sakit? Lo masih bisa dengar gue, ‘kan?”

Tak menjawabnya, Angkasa hanya mengangguk. Dan ketika Nata membantunya untuk berdiri dan mendudukkan dirinya di sofa, Angkasa hanya menurut saja.

“Kita ke rumah sakit ya sekarang. Bentar, gue cari kunci mobilnya Mama dulu.” Nata sudah ingin beranjak, Namun Angkasa menahan lengan Nata dan menggeleng pelan.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang