33. Definisi Bahagia Itu Cepat Berlalu

1.6K 220 50
                                    

Happy reading .....

Tak ada yang benar-benar berjalan dengan baik.
Apalagi jika semesta sendiri yang
menginginkan.

—  L O S E  —

.

.

.

.


Hidup adalah tentang bagaimana takdir bekerja. Tapi selain itu hidup juga tentang berusaha. Berusaha untuk menggapai kata bahagia contohnya, dan itu sudah pasti dimuai dari keluarga.

Ya, keluarga adalah tempat bersandar. Di mana ‘rumah’ tempat kita berpulang. Terkadang, orang lain menganggap hal ini begitu sepele. Namun kenyataannya, bagi Angkasa maupun Skala, keluarga tetap menjadi prioritas paling utama.

Angkasa tersenyum melihat seluruh sudut kamarnya yang bernuansa hitam putih ini. Ada perasaan lega yang tiba-tiba hadir melingkupi hatinya.

Semuanya kini sudah tertata sebagaimana mestinya. Angkasa senang, ia tak bisa bohong bahwa memang ini yang ia butuhkan sejak dulu. Kekosongan hatinya juga sudah kembali tertambal dengan rapi lagi.

Ia tak ingat kapan kali terakhir merasakan efouria seperti ini. Rasanya, begitu berbeda dari hidupnya yang sebelum-sebelumnya.

“Angkasa, lo kenapa malah bengong di depan pintu? Bukannya masuk juga.”

Hingga ucapan Skala setelahnya menyadarkan Angkasa dari lamunannya. Ia menoleh ke samping dan benar sudah ada Skala di sana.

“Kenapa ya satu tahun terakhir ini gue bisa lupain hal terpenting dalam hidup gue sendiri?” ungkap Angkasa. Cowok itu lantas masuk ke dalam kamarnya dan mendudukkan dirinya di atas ranjang. Tentu diikuti oleh Skala setelahnya.

“Yang terpenting ‘kan sekarang semuanya udah baik lagi.” Sama seperti Angkasa, Skala juga merasakan hal yang sama.

“Lo benar.” Angkasa mengangguk membenarkan. “Hah, gue masih berasa mimpi tahu nggak. Ternyata yang waktu itu lo bilang di bandara itu semuanya benar. Kita memang saudara.”

Skala tak menjawab, ia justru hanya tersenyum menanggapi ucapan adiknya. “Angkasa, are you happy now?”

Juga setelahnya, Skala malah melontarkan kalimat tanya yang lain. Ia masih terus memandang wajah sang adik dari samping.

“Yes, I’m happy.”

Tak ada keraguan sedikit pun saat Angkasa mengatakan hal itu dan Skala tahu, bahwa Angkasa tidak berbohong padanya. Kini, semuanya sudah kembali dengan semestinya. Sekarang, masih bolehkan Skala meminta pada semesta untuk terus seperti ini?

“Skala, dulu gue takut untuk melangkah ke depan. Ada banyak hal yang selalu gue takutkan, gue khawatirkan dan ingatan gue salah satunya.” Angkasa menoleh ke samping, menjeda kalimatnya sejenak hanya untuk melihat senyum Skala yang masih belum pudar di bibirnya.

“Tapi sekarang, selama ada lo, gue rasa semuanya akan baik-baik aja, ‘kan?”

“Lo akan selalu berjalan di sisi gue ‘kan?”

Lagi-lagi Skala tersenyum, dan kini senyumnya lebih lebar. Ia mengangguk mantap dengan telapak tangannya yang mengusap lembut surai kecokelatan milik adiknya.

“Harusnya, gue nggak mikir sampai sejauh ini. Tapi gue benar-benar takut Skala. Gue takut lo pergi ninggalin gue kaya Benua.”

Skala masih mempertahankan senyumnya kendati hatinya terasa begitu perih. Bukankah ini seperti sebuah permintaan dari Angkasa agar ia selalu ada di sini? Tapi yang adiknya itu tidak tahu, Skala sungguh tak bisa berjanji akan apa pun.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang