35. Saling Terikat

1.6K 194 38
                                    

Happy reading ....

Tak perlu berubah untuk menunjukkan sebuah
rasa, cukup menjadi apa adanya dengan
dirinya yang nyata.

—  L O S E  —



.





.






.





.









Tengah malam, lebih tepatnya pukul satu dini hari, Skala terbangun dari tidurnya akibat rasa sakit yang kembali menyerangnya. Ia menatap lamat-lamat plafon berwarna putih di atasnya.

Telapak tangannya meraba pelan dadanya yang kembali berdenyut sakit. Skala mengerang tertahan, ia menggigit bibirnya kuat-kuat, kepalanya menoleh ke samping, di mana ia melihat Angkasa yang sedang tertidur di sana.

Skala mencoba bangkit perlahan tanpa menimbulkan suara, sejenak ia memejam kala denyut menyakitkan itu terasa menyesakkan dadanya.

Jangan sekarang Tuhan.

Ia tidak mau malam ini membuat tidur Angkasa terganggu. Dengan tangan bergetar Skala meraba meja nakas yang terletak di sampingnya guna mengambil tabung kecil yang setiap hari menolongnya dari kematian.

Sialnya, sebelum tabung itu berada di dalam genggamannya, benda itu sudah lebih dulu terjatuh ke bawah menimbulkan bunyi yang nyatanya bisa mengusik tidur Angkasa.

Mendengar bunyi itu membuat Angkasa membuka matanya. Ia menatap ke samping, Angkasa begitu terkejut saat melihat Skala yang tengah kesakitan. Dengan napas yang tidak teratur beserta keringat dingin yang membanjiri wajahnya.

Angkasa segera bangkit. “Skala, lo nggak papa?” paniknya.

Skala menggeleng lemah dengan tangan sebelah kanan meremas kuat dadanya. “T–tolong O–obat, Sa.”

Begitu lirih, bahkan terkesan suaranya tidak jelas terdengar dan putus-putus. Namun Angkasa yang mengerti pun segera beranjak guna mengambilkan obat Skala yang Angkasa lihat ternyata sudah jatuh ke lantai.

Angkasa mencoba tenang dan membantu Skala meminum obatnya. Meski, jauh di lubuk  hatinya ia begitu khawatir dengan kakaknya itu. Selanjutnya Angkasa juga membantu Skala meminum air putih.

Skala masih bersandar lemah pada kepala ranjang dengan kedua netranya yang memejam. Kendati sudah meminum obatnya, rasa sakit di dadanya juga belum mau hilang.

“Gimana? Udah lebih baik?” Angkasa memposisikan duduk di sebelah Skala lagi. Dengan tatapan yang tak pernah bisa lepas dari kakaknya itu. Takut-takut Skala kembali kesakitan lagi.

“Atau gue antar lo ke rumah sakit sekarang?” lanjut Angkasa lagi dan Skala justru membuka matanya dan tersenyum kecil.

“Gue udah nggak papa. Makasih ya, Sa,” lirih Skala.

Berdecak kesal, Angkasa kini menatap garang ke arah Skala. “Gue nggak butuh kata nggak papa. Lo selalu aja bilang kaya gitu. Tapi kenyataannya?” Angkasa menggeleng pelan. “Lo selalu nyembunyiin rasa sakit itu sendirian.”

“Apa susahnya sih lo ngomong, Skala. Kalau lo terus diam aja kaya gini, kalau nanti kejadian lo tengah malam kambuh lagi gimana? Terus kalau gue nggak tidur di kamar lo gimana? Siapa yang bakal nolong lo? Lo pikir lo bisa ngatasin ini sendiri?”

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang