48. Berjarak

1.2K 194 45
                                    

Happy reading ......




Perihal rasa sakit, semata-mata bukan karena
semesta yang jahat. Namun, semesta tahu
jika kita kuat.






—  L O S E  —



.





.





.






.






Angkasa menghela napas gusar berkali-kali. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang. Perasaannya masih tak karuan. Masih sama kacaunya dengan tadi malam. Ia baru bangun tidur dan turun ke bawah dan keadaan rumah ini begitu sepi.

Jelas saja, baik mamanya atau papa Diki pasti sedang menemani Skala di rumah sakit. Angkasa juga ingin tahu bagaimana keadaan Skala kali ini, tapi hatinya sungguh berat ketika ia ajak ke sana.

Pertengkaran kemarin dengan sang kakak masih menimbulkan luka perih di hati Angkasa. Jika Skala bilang, dia takut dengan apa yang akan terjadi ke depan.

Angkasa juga tak kalah ketakutan. Setiap detik yang ia jalani. Seolah terus menerus menikamnya hingga rasanya begitu penuh sesak.

“Angkasa, kamu udah makan, Nak? Kok kaya baru bangun tidur gitu? Emang kamu nggak ke kampus hari ini?”

Hingga sebuah ucapan serta suara langkah sang mama yang mendekat, kini berhasil menyadarkan Angkasa dari lamunannya. Ia mendongak ke atas kala Dita berhenti di depannya.

“Mama, pulang?” Hanya itu, benar-benar hanya dua kata itu yang bisa Angkasa ucapkan kali ini.

“Iya, Mama mau masak buat kamu, sama Skala. Terus dari semalam Skala ribut tanyain kamu terus. Makanya Mama juga mau ngecek kamu. Mama semalam juga udah telfon kamu, tapi kamu pasti udah tidur, ya?”

Angkasa hanya mengangguk saja. “Keadaan Skala gimana?”

Bukan menjawab, atau merespons ucapan Dita sebelumnya. Angkasa justru bertanya hal lain. Sebuah hal yang sangat ingin Angkasa dengar kabar baiknya.

Dita menghela napas. Ia tak langsung menjawab. Melainkan, wanita paruh baya itu lantas duduk di sebelah putra bungsunya ini.

“Baik, tapi nggak sebaik saat ditemani kamu,” jawabnya akhirnya. Bukan tanpa alasan Dita berkata seperti itu. Ia melihat saat tidak ada Angkasa, Skala hanya murung.

Dan jika sedang bersama Angkasa, ada senyum, bahkan tawa ceria yang bisa Dita lihat.

“Skala akan selalu baik-baik aja ‘kan, Ma?”

“Ya, akan selalu baik-baik aja. Kamu yakin, ‘kan kalau Kakak kamu kuat?” Barangkali, Dita berkata seperti itu hanya untuk menghibur Angkasa juga dirinya sendiri.

Tanpa Dita jelaskan lebih lanjut pun, ia sangat paham, bahwasanya Angkasa pasti paham betul bagaimana kondisi kesehatan Skala yang terus menurun dari hari ke hari.

Namun baik Dita maupun Angkasa sama-sama munafik. Mereka masih menanamkan rasa positif dan percayanya berdasar pada keajaiban Tuhan.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang