61. Dunia Yang Enggan Berpihak

1.1K 172 51
                                    


Play lagu di mulmed!!

.

Happy reading ......

Jika langkahmu tak lagi terasa, tolong
tatap mereka yang ada di posisi serupa.
Jangan hanya terpaku pada kesakitan.
karena setiap manusia pun, pasti
merasakan sakit yang sama
walau dengan cara yang
berbeda.

—  L O S E  —

.



.



.




.




“Skala ... kenapa gelap?”

Deg.

Apalagi ini Tuhan? Sama seperti Angkasa, Skala juga semakin erat menggenggam telapak tangan Angkasa. Namun, Skala segera mengenyahkan pikiran buruknya.

“Sa, lo bisa lihat gue, ‘kan?”

Namun yang ada, kedua netra jernih itu hanya bergulir ke atas. Sama sekali tak menoleh ke arahnya. “Gelap, Kala. Tolong hidupin lampunya. G–gue takut.”

Jangan lupakan Angkasa yang mempunyai trauma dengan ruangan gelap, ia masih benci berada di tengah kegelapan. Apalagi kali ini, benar-benar tak ada yang bisa Angkasa lihat.

Telapak tangan kiri Skala, bertumpu pada ujung ranjang. Menahan berat badannya yang hendak terjatuh. Tolong bangunkan Skala jika ini hanya mimpi. Tolong, jangan lagi buat Angkasa kesakitan. Cairan bening itu sudah menumpuk di pelupuk mata.

“Skala, kok diam?” ucap Angkasa lagi. Kali ini disertai oleh kepalanya yang menoleh ke samping. Bukan menoleh ke arah Skala, tapi justru menoleh ke sebelah kanan yang tidak ada siapa-siapa di sana.

Bukan hanya Skala, baik Nata dan Vino yang ada di sini pun semuanya terdiam. Mereka tak tahu ingin merespons Angkasa seperti apa.

Beberapa detik setelahnya. Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok dokter dan Dita serta Diki yang mengikuti dari belakang.

“Skala,” panggil Angkasa ketika ia merasakan tautan tangannya terlepas.

“Saya periksa dulu ya.” Dan setelahnya, Angkasa justru mendengar suara dokter. Angkasa tak menjawab apa-apa, ia hanya terdiam.

“Angkasa, kamu bisa lihat saya?” tanyanya.

Barulah, Angkasa menggeleng. “Gelap, Dok. Kenapa dari tadi lampunya nggak di hidupin?”

Dita menutup mulutnya tak percaya dan di detik selanjutnya, Diki menariknya ke dalam pelukannya tanpa suara.

Dokter itu masih mengecek kondisi mata Angkasa, sampai akhirnya, pria itu menghela napas berat. Lalu tubuhnya berbalik menatap satu persatu orang-orang yang sedang menanti kabar baiknya.

“Bagaimana, Dok?” Diki yang bertanya lebih dulu.

“Kondisinya sudah stabil. Namun, sesuai yang saya katakan kemarin, benturan yang terjadi di kepalanya begitu keras hingga membuat saraf matanya rusak. Saya berat mengatakan ini. Tapi, saat ini Angkasa mengalami kebutaan.”

Angkasa menggeleng. Tidak, apa yang tengah mereka semua bicarakan? Ia bangkit dan duduk mengucek kedua matanya, lalu membukanya kembali. Namun tetap gelap. Angkasa beberapa kali mengulanginya, namun hasilnya tetap sama. Angkasa panik, air matanya lantas menggenang di pelupuk mata.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang