51. Sejarah Telur Gosong

1.3K 184 47
                                    

Happy reading  .....

Meskipun dengan cerita yang berbeda, tapi
aku akan membuatnya menjadi lebih
berwarna.


—  L O S E  —

.

.

.


.



Sejak tadi, Angkasa sama sekali tak beranjak dari kamar rawat Skala. Ia terus menemani sang kakak. Ia sadar, ada begitu banyak kesalahan yang ia telah ia lakukan. Maka, untuk saat ini, ia berjanji tak akan meninggalkan Skala lagi.

Ia akan selalu ada di sisinya. Apa pun yang terjadi. Angkasa akui, ia memang terlalu buruk hanya untuk sekedar menahan gejolak amarahnya.

Mudah terpancing dengan hal-hal kecil yang seharusnya tak perlu Angkasa permasalahkan.

“Sa, maafin gue ya yang soal kemarin,” ucap Skala tiba-tiba setelah beberapa saat hening melanda.

“Udah nggak perlu di bahas yang kemarin-kemarin.”

“Tetap aja gue mau minta maaf sama lo. Lo sampai marah sama gue dan nggak datang ke sini kemarin,” sesalnya. Skala sungguh tak merasa tenang saat Angkasa belum memaafkannya.

“Gue datang Skala.” Angkasa ingin berkata seperti itu. Namun, semuanya hanya ada di hatinya saja. Toh, buat apa juga ia mengungkit-ungkit hari kemarin? Ia juga tetap tak akan bisa merubah atau sekedar kembali lagi ke hari itu, ‘kan?

“Permintaan maaf di terima. Tapi lo juga harus maafin gue karena gue kemarin udah egois banget.” Sejenak, Angkasa menarik sudut bibirnya lebih lebar. “Gue nyuruh lo untuk bertahan, tapi gue dengan kurang ajarnya malah ninggalin lo saat itu.”

“Lo nggak mau marah sama gue, Skala?” lanjutnya.

Skala bergerak ke samping menyamankan posisi duduknya sambil bersandar ke belakang dengan ranjangnya yang sudah dinaikkan guna agar ia merasa lebih nyaman. “Gue mau marah tentang hal apa sama lo, Sa? Lo nggak ngelakuin kesalahan apa pun.”

“Lo terlalu baik. Gue nggak suka!” jujur Angkasa yang justru membuat bibir Skala yang masih terlihat pucat itu menyunggingkan senyum lebarnya.

“Kenapa sih, semuanya aja lo nggak suka, Sa. Lo banyak protesnya jadi orang.”

“Terserah gue lah, yang jelas Skala ... lo jangan terlalu baik jadi orang.” Angkasa lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika rasa bersalah itu kembali datang menghampirinya. “Gue jadi semakin merasa bersalah,” sambungnya dengan lirih.

Meski begitu Skala masih mendengar dengan jelas ucapan Angkasa yang seperti gumaman itu. “Apa sih Sa, nggak perlu merasa bersalah. Kaya sama siapa aja. Lagian wajar kok, ‘kan kemarin gue emang udah keterlaluan sama lo.”

“Justru itu, karena lo Kakak gue. Gue jadi makin ngerasa bersalah. Nggak mau tahu, lo harus tanggung jawab pokoknya!”

Ini aneh, bukannya Angkasa bilang dia merasa bersalah padanya? Tapi mengapa juga harus Skala yang bertanggung jawab. Skala lalu tertawa kecil. “Yaudah lo mau minta apa? Jangan deh, nanti yang ada lo minta yang aneh-aneh lagi. Gimana nanti kalau gue udah sembuh dan pulang ke rumah, dan udah berangkat kuliah lagi, lo gue traktir deh di kantin selama seminggu, gimana?”

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang