23. Melepas Semesta

1.4K 203 54
                                    

Happy reading .....

Tentang sebuah melepaskan, bukan berarti rasa sayang  yang telah hilang. Tapi jauh dari
itu semua, melepaskan adalah salah satu
wujud kasih sayang paling menyedihkan
untuk dirayakan.


—  L O S E  —


.





.




.






.









Awalnya Sena kira hidupnya begitu sempurna kendati ia tak bisa mengingat apa pun tentang masa lalunya. Ia bahagia dengan semua yang dilaluinya dengan nama Sena yang papanya beri waktu itu.

Selama satu tahun ini ia juga sudah sepenuhnya percaya dengan mereka semua. Tapi kemarin dan hari ini, semuanya berubah. Sena tak bisa percaya dengan mereka semua lagi.

Apalagi, sepotong ingatan saat menyebutnya sebagai Angkasa,  juga ada satu presisi baru yang Sena ingat sebagai Benua, kakaknya. Ia kebingungan dengan semuanya, ia takut. Karena hanya ingatan itu yang kembali, meskipun Sena sudah memaksakan ingatannya lagi.

“Arghhhhhhhhh.” Sena berteriak frustasi dengan telapak tangannya menutup telinganya sendiri sambil duduk di atas ranjang yang terlihat kusut.

Ingatan itu kini terus menyiksanya, dengan rasa tidak terima yang hadir di diri Sena. Selama ini ia hidup sebagai Sena dan soal ingatan yang menyebut dirinya Angkasa, Sena benar-benar tak tahu apa itu dirinya sendiri atau bukan.

Juga, soal Benua. Jika dia memang kakaknya, di mana sosok itu sekarang? Mengapa juga harus Nata dan Skala yang berdebat meyakinkannya jika ia adalah salah satu bagian dari keluarga mereka?

Pyarr

Sena membanting apa pun yang ada di sekitarnya. Ia merasa marah, frustasi, takut, kesepian, sedih, tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Wajahnya begitu kacau dengan linangan air mata yang masih terlihat jelas di sana.

Mendengar aksi ribut-ribut, Kean yang sebelumnya berada di toilet pun akhirnya keluar, ia begitu panik saat melihat Sena yang sedang melemparkan barang apa pun di dekatnya. Kean buru-buru mendekat dan menghentikan aksi sang sahabat.

“Sen, sadar. Jangan kaya gini, please.” Kean menahan dan mengguncang tubuh Sena yang tatapan matanya kini terlihat begitu kosong.

“Gue bodoh Kean, gue nggak bisa ingat apa pun!” ucapnya kacau sambil memukul-mukul kepalanya.

“Gue Sena, tapi kenapa ingatan Angkasa yang bisa gue ingat.”

Arghhhhh, kenapa semua ini terjadi sama gue? Gue takut, gue nggak ingat masa lalu gue,” ucap Sena lagi dan kali ini keadaannya lebih kacau. Beserta rasa sakit di kepalanya yang kembali muncul.

Kean merengkuh sang sahabat dalam pelukannya, memberikan banyak kata-kata penenang walau kenyataannya itu tak membantu Sena sama sekali.

Kalau boleh jujur, Sena ingin menangis meraung-raung saat ini juga melampiaskan semua rasa sakit hatinya tapi, apa yang akan ia dapat setelah itu? Tak lebih dari rasa sakitnya yang justru semakin menjadi-jadi.

“Lo tenang dulu. Kalau saat ini lo nggak bisa percaya sama siapa pun, lo biasa taruh rasa percaya lo sedikit ke gue. Di sini, gue nggak akan memandang lo sebagai Sena atau pun Angkasa. Di sini, gue selalu memandang lo sebagai sahabat gue.”

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang