54. Should Be Fine

1.2K 187 13
                                    

Happy reading ......

Apa pun alasanya, kamu akan tetap menjadi
orang pertama yang akan kupastian
baik-baik saja.




—  L O S E   —




.




.




.



.







Setelah melewati perdebatan sengit antara Angkasa dengan dirinya, akhirnya Kean kalah. Angkasa begitu keras kepala bahkan di saat kondisinya masih begitu mengkhawatirkan. Sahabatnya itu terus memaksa hingga saat ini mereka tengah berboncengan menuju sekitar kampus Skala.

Karena jika di lihat dari foto yang Angkasa dapat dari orang itu, sepertinya Skala sedang ada di kafetaria dekat kampus.

Angkasa semakin cemas karena Skala tak kunjung bisa dihubungi. “Kean cepat, lo bisa ngebut nggak sih? Kalau nggak bisa, sini biar gue yang bawa.”

“Ck! Sabar kali. Ini gue juga sambil lihat-lihat, siapa tahu ada Skala di sekitar sini,” balas Kean tak kalah ketus.

Kean bukan tak merasakan cemas sama sekali. Ia juga sama cemasnya. Namun, entah mengapa ia yakin, jika Skala tak sendiri saat ini. Jika pun benar orang itu ingin menyelakai Skala, bukankah orang itu salah tempat? Karena jelas, saat ini skala tengah berada di tempat umum.

“Kean, itu yang di kafe depan, Skala ‘kan?”

Hingga ucapan tiba-tiba Angkasa dengan nada tingginya, membuat lamunan Kean buyar. Cowok itu langsung memusatkan pandangannya ke depan. Dan memang benar jika itu Skala.

“Iya benar. Gue nggak salah. Itu Skala,” ucap Angkasa lagi.

Kean yang mengerti pun akhirnya melajukan motornya dengan cepat dan berhenti di depan halaman kafe dengan Skala dan Vino yang tengah menatap terkejut mereka berdua.

Angkasa lebih dulu turun dan menghampiri Skala. “Skala, lo nggak papa?” tanyanya dengan menatap Skala dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedang, kedua telapak tangannya memegang pundak kakaknya itu.

“Lho, Sa? Lo kenapa ke sini? Lo masih sakit kenapa keluyuran kaya gini.” Jangan lupakan, wajah pucat Angkasa masih begitu membuat Skala khawatir.

Skala benar-benar tak mengerti di mana otak Angkasa berada. Bukannya beristirahat di rumah saat ini, Angkasa justru malah menyusulnya sampai sini. Bahkan ada raut kekhawatiran dari diri Angkasa yang Skala lihat.

“Nggak usah nanya-nanya dulu. Lo nggak papa, ‘kan? Nggak ada orang yang jahatin lo di sini, ‘kan?”

“Angkasa lo kenapa sih? Gue nggak kenapa-napa. Nggak ada yang jahatin gue juga di sini. Harusnya, gue yang tanya lo kenapa? Kenapa tiba-tiba ke sini?” Skala menyentuh kening Angkasa dan mengela napas lega setelahnya karena tak dirasakannya suhu panas di sana.

“Angkasa dapat pesan ancaman dari seseorang. Dia bilang mau nyelakin lo. Dia juga kirim foto lo yang lagi di dalam kafe tadi.” Itu Kean yang bercerita. Ia tak sabar jika harus menunggu Angkasa yang bercerita.

“Beneran? Coba sini lihat.”

“Udah, nggak perlu di lihat-lihat lagi. Yang paling penting buat gue, lo baik-baik aja.” Angkasa bersungguh-sungguh mengatakannya, karena biar bagaimana pun, Angkasa tak ingin melibatkan Skala tentang masalahnya.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang