42. Sick

2.1K 198 43
                                    

Happy reading .....

Ketakutan itu nyata, di saat kamu
memejamkan mata.




—  L O S E —






.




.





.






.






Petang itu, deru langkah yang Angkasa ciptakan di koridor rumah sakit terasa mencekam. Jantungnya berpacu berkali-kali lipat, beserta langkah kaki setengah berlari kala mengikuti blangkar yang membawa Skala ke dalam ruang IGD.

Tertahan di depan pintu begitu saja begitu membuat Angkasa frustasi. Ia bersandar lelah pada tembok yang ada di belakangnya. Sedangkan Vino, hanya bisa terduduk lemas di kursi tunggu.

Galen, Cio dan Kean datang kemudian saat Skala sudah dibawa ke dalam ruang IGD. Wajah kacau yang ditampilkan Angkasa serta Vino juga ikut membuat mereka khawatir.

“Harusnya gue tadi nggak biarin Skala lebih lama lagi di sana,” sesal Angkasa. Ia berkali-kali mengusap wajahnya kasar. Setelahnya meninju dinding rumah sakit yang sampai membuat jari-jarinya lecet.

“Lo nggak boleh nyalahin diri sendiri, Sa.” Cio menghentikan aksi konyol sahabatnya itu lantas berujar menenangkan.

Angkasa kacau, ia tak bisa dihadapkan dengan situasi seperti ini. Melihat Skala yang kehilangan kesadarannya begitu mengacak-acak sisi kewarasannya.

Kedua bola matanya terasa perih. Angkasa ingin menangis, tapi air mata itu justru tak keluar sama sekali.

“Kalau Skala kenapa-napa gimana? Itu semua salah gue, ‘kan?” lirih cowok itu. Ia menunduk, menatap nanar lantai rumah sakit yang entah mengapa terasa lebih dingin.

“Skala nggak akan kenapa-napa!” tegas Vino. Ia melirik Angkasa sebentar sebelum kembali berkata, “Skala nggak selemah yang lo bayangkan!”

Ada rasa yang menusuk hati Angkasa saat Vino berkata demikian. Ia lebih memilih mengabaikannya, ia tak mungkin berdebat dengan Vino di kondisi seperti ini.

Tidak, Angkasa tidak beranggapan jika Skala itu lemah. Tapi ia hanya takut, Angkasa khawatir, cemas dan juga marah pada dirinya sendiri karena telah lalai menjaga Skala. Bahkan Angkasa masih ingat saat menuju ke rumah sakit ini, napas Skala terdengar sangat lemah.

Menunggu waktu yang tak pasti adalah hal yang paling memuakkan. Serta kebisuan yang menjadi pengiringnya semakin menambah panjang rasa yang terasa menyiksa ini. Tak hanya untuk Angkasa, tapi untuk Vino juga.

Sejak kecil ia bersahabat dengan Skala dan hal-hal seperti ini masih membuatnya tidak terbiasa. Melihat sang sahabat kesakitan masih menjadi hal yang paling menyesakkan bagi Vino.

Hatinya juga ikut hancur saat menyaksikan lagi dan lagi Skala harus kembali ke tempat ini dan berjuang untuk sebuah kehidupan yang sering orang lain sia-siakan.

Angkasa juga sama, ia memang tak mengingat bagaimana kehidupannya dulu bersama Skala. Tapi hari ini ia merasakan sakit yang luar biasa, saat melihat kondisi Skala yang tak baik-baik saja.

Setelah menunggu hampir 30 menit lamanya, akhirnya dokter yang menangani Skala keluar dengan raut wajah yang sulit dibaca.

“Bagaimana keadaan Kakak saya, Dok?” tanya Angkasa tidak sabaran.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang