50. Hug Me

1.4K 198 47
                                    

Happy reading .....

Terkadang, yang sangat dibutuhkan itu sebuah
tempat nyaman, yang kita bisa jadikan
sandaran.



—  L O S E  —




.




.



.



.





Angkasa berjalan dengan begitu cepat dan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Kendati tubuhnya masih terasa lemas luar biasa, Angkasa tetap memaksakan langkahnya dengan perasaan yang begitu cemas.

Di susul Alvin di belakang. Ia sengaja berjalan tepat di belakang Angkasa guna menjaga saudaranya itu. Takut-takut jika Angkasa tak kuat berjalan atau bagaimana.

Karena Alvin jelas tahu, jika Angkasa masih belum dalam kondisi baik. Terlalu memaksa untuk segera datang ke sini. Padahal, aturannya saat ini Angkasa harus istirahat terlebih dahulu.

Hingga langkah Angkasa semakin memelan kala melihat kedua orang tuanya yang sama-sama duduk dengan kepala menunduk di kursi tunggu yang ada di depan kamar rawat Skala.

“Sa, lo oke?”

Tak mendapat balasan apa-apa, Angkasa hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Angkasa kemudian menyeret tungkainya yang terasa berat itu mendekat pada Diki dan Dita.

“Ma, Pa, apa yang terjadi? Skala baik-baik aja, ‘kan? Mama nggak serius ‘kan sama apa yang Mama bilang di telefon? Mama bilang gitu supaya aku ke sini, ‘kan?”

Pertanyaan beruntun itu tak dijawab oleh Dita ataupun Diki. Wanita paruh baya itu justru lebih dulu menarik Angkasa ke dalam rengkuhannya.

“Ma .... ”

“Doain Kakak kamu ya, sayang. Kita sama-sama kasih Skala semangat, supaya Kakak kamu bisa melewati ini semua,” ucap Dita memotong ucapan Angkasa begitu saja.

Angkasa membalas pelukan itu tak kalah erat. Jujur, hanya mendengar getar suara yang Dita ucapkan, itu sudah membuat dadanya begitu sesak. Lantas ucapan sang mama juga sama. Seolah mau bagaimana ia menyangkal, ini nyata dan Skala ... Angkasa sungguh menyesal mengapa tadi pagi ia tak datang ke rumah sakit.

“Tapi, Ma ... Skala pasti akan baik-baik aja, ‘kan?” tanya Angkasa.

“Pasti, Kakak kamu pasti akan baik-baik saja, kamu percaya itu, ‘kan?” ujar Dita menenangkan. Wanita paruh baya itu lalu menarik Angkasa untuk duduk.

Mata sembabnya kemudian meneliti wajah Angkasa dengan serius. “Kamu kenapa pucat? Kamu sakit, sayang?” Telapak tangan Dita tanpa aba-aba menyentuh kening Angkasa, namun anehnya Dita tak merasakan hawa panas di sana.

“Aku baik.”

Walau tak sepenuhnya percaya dengan apa yang Angkasa ucapkan, namun Dita sedikit banyaknya merasa lega. “Kalau ngerasa lagi nggak enak badan, kamu harusnya bilang sama Mama. Kamu juga nggak usah dipaksain untuk ke sini.”

Angkasa menggeleng. “Enggak, aku nggak papa, Ma.”

Bermenit-menit berlalu, pun dengan keheningan yang menemani, turut membawa resah yang tak berkesudahan. Menunggu dan hanya bisa menunggu sebuah kata keajaiban untuk orang yang tersayang yang tengah berjuang di dalam sana.

Tanpa bisa melakukan apa-apa. Bahkan setiap detik yang berlalu, angkasa hitung hanya agar mengurangi rasa cemas yang bersemayam di hatinya.

Kali ini, semesta masih berpihak padanya, ‘kan? Oh, bukan lebih tepatnya berpihak pada Skala.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang