24. Rumah Tempat Berpulang

1.5K 224 55
                                    

Happy reading ......

Sama seperti angkasa yang tak pernah
meninggalkan bumi, sampai saat ini
nanti dan selamanya, Angkasa juga
masih menjadi semestanya.

Semesta nya Skala.

—  L O S E  —




.





.





.





.




“Gue nggak yakin. Kalau mereka masih sayang sama kita. Kenapa mereka memilih berpisah?” balas Angkasa dengan sengit. Hingga mampu membungkam mulut Benua.

Sekali lagi, Benua mencoba tersenyum ke arah adiknya. “Udahlah nggak usah dipikirin lagi. Pokoknya, yang harus lo ingat, kalau di dunia ini masih ada gue. Benua Aquiliano Bramanta, Kakak lo. Cowok paling ganteng se dunia ini yang bakal selalu ada buat lo. Yang akan selalu sayang sama lo. Yang akan selalu masakin lo telur mata sapi di pagi hari.”

Plak!

“Anjir kok gue dipukul.”

“Pokoknya gue nggak suka sama telur buatan lo yang gosong itu!”

“Yaelah, Sa. Telur buatan lo lebih gosong lagi dari pada gue.”

Selanjutnya, Angkasa hanya mendengkus kesal. Semua yang Benua bilang itu benar. Tapi,  pembicaraan random ini sedikit demi sedikit kembali menghangatkan jiwa Angkasa yang semula gersang.

Hingga akhirnya beberapa detik kemudian, mereka sama-sama tertawa. Untuk hal yang sangat sederhana ini.

Tapi rupanya tawa itu tak berlangsung lama setelah ....

Tin tin tin

“BENUA, AWASS!!”

Ckitt

BRAK!!

“ENGGAK!” Sena berteriak sambil bangun dari tidurnya dengan napas yang terengah-engah serta keringat dingin yang sudah membasahi wajahnya, cowok itu menatap ke sekelilingnya, dan ruangan serba putih ini yang kembali ia lihat.

Brak!

“Sen, lo kenapa? Lo nggak papa 'kan?”

Skala membuka pintu kamar rawat Sena dengan kasar, dan berlari panik ke arah Sena yang terlihat tengah mengusap wajahnya kasar.

“Lo nggak papa? Lo tadi kenapa?” ulang Skala setelah berada di depan Sena.

Jujur, Skala kaget karena tiba-tiba Sena berteriak kencang. Padahal seingatnya tadi ia melihat Sena yang kembali terlelap setelah dokter memberikan obat pada adiknya. Setelah mendengar teriakan Sena tentu itu membuat Skala panik. Takut terjadi sesuatu pada adiknya.

“Skala .... ” Sena mendongak, menatap wajah khawatir Skala dengan tubuh yang bergetar.

“Hay, tenang dulu, lo kenapa?” tanyanya lagi.

Tapi bukan menjawab, Sena justru tiba-tiba memeluk Skala dengan eratnya. Sejenak, hal yang adiknya lakukan secara tiba-tiba ini membuat Skala terdiam kaku. Sebelum akhirnya ia membalas pelukan Sena tak kalah eratnya.

“Udah nggak papa, di sini ada gue jangan takut,” kata Skala menenangkan.

Tapi tak bisa, sebanyak apa pun Skala menenangkan, Sena tetap tak bisa berpikir jernih. Ia masih takut pada mimpinya yang terasa nyata juga menakutkan.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang