62. Don't Give Up

1.2K 174 26
                                    

Happy reading ....

Buat apa menyerah secepat ini, bukankah
kamu masih bisa bertahan lebih jauh
lagi?

— Skala Prananta —


.



.




.




.







“Tidak ada yang serius, sakit kepala yang Angkasa alami itu efek dari benturan di kepalanya. Beberapa Minggu ke depan, mungkin Angkasa akan sering merasa pusing dan sakit kepala. Di tambah dengan kondisinya yang saat ini tengah tertekan.”

“Tapi jangan khawatir, setelah kondisinya benar-benar pulih, sakit kepalanya juga akan perlahan menghilang.”

“Untuk sekarang, yang menjadi fokus utama, jangan tinggalkan Angkasa sendirian walau hanya dalam waktu beberapa menit. Karena mentalnya tengah terguncang.”

Dita mengingatnya lagi. Percakapannya dengan dokter setelah Angkasa pingsan kemarin, masih penuh sesak di pikirannya.

Duduk di kursi yang ada di samping ranjang, dan menggenggam lembut salah satu telapak tangan Angkasa yang terbebas dari infus. Dita kehabisan kalimatnya hanya untuk membujuk putra bungsunya itu untuk makan.

Angkasa sungguh seperti tengah menyiksa dirinya sendiri dengan ini. Hanya merespons seadanya ketika Dita mencoba mengajak bicara, pun dengan wajah pucatnya yang kehilangan rona.

Maka, sudah berpuluh-puluh menit Dita ada di sini dan terdiam. Namun usapan lembut yang ia beri di kepala Angkasa tak kunjung berhenti. Di samping, pikirannya juga ikut kacau.

Bagaimana tidak? Kedua putranya sakit secara bersamaan. Apalagi, semalam Skala juga kembali drop. Maka ia dan Diki membagi tugas untuk menjaga Angkasa dan Skala. Tidak ada yang baik-baik saja. Karena kondisi keduanya sama-sama mengkhawatirkan.

Dokter juga masih belum memperbolehkan Angkasa untuk pulang karena cowok itu kerap kali menolak untuk makan dan minum obat hingga membuat tubuhnya masih lemah.

Ceklek

Wanita paruh baya itu menoleh ketika mendapati pintu kamar terbuka.

“Siang Tante, kita mau jenguk Angkasa,” ucap Cio di ambang pintu dengan seluas senyum tipis yang terlukis di wajah tampannya. Tak lupa dengan Dita yang juga membalas senyuman itu.

“Oh kalian, ayo sini masuk.”

Cio, Galen juga Kean masuk ke ruang rawat Angkasa. Sudah dari kemarin mereka ingin menjenguk Angkasa. Namun hanya berakhir sampai depan pintu saja. Karena Angkasa tak menginginkan dijenguk oleh siapa pun.

Dan kali ini, ketiganya nekat datang lagi. Tak peduli jika Angkasa masih tak mau menemui mereka. Yang jelas, mereka ingin menemui Angkasa. Sekedar memberi semangat untuk sahabatnya itu.

“Yaudah kalian ngobrol-ngobrol aja, Tante tinggal kalau gitu.” Mengerti dengan keadaan mereka Dita lantas berdiri dan berkata seperti itu. Wanita paruh baya itu lantas memusatkan pandangannya pada Angkasa yang saat ini sudah tak berbaring lagi. Melainkan duduk sambil bersandar ke belakang. “Angkasa, Mama keluar dulu sebentar, ya?”

Selepas kepergian Dita, ketiganya mendekat pada ranjang. “Sa, gimana kabar lo. Udah jauh lebih baik?” Kean lebih dulu membuka suaranya.

Melihat sahabatnya yang seperti tak mempunyai semangat untuk hidup membuat gemuruh di hati Kean begitu hebat. Ia tak menginginkan melihat Angkasa dalam kondisi seperti ini. Ia juga ikut sakit melihatnya.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang