39. Tak Bisa Bercerita

1.3K 195 63
                                    

Happy reading .....

Tak hanya diam saja. Kamu boleh mengadu. Semua boleh menangis. Semua boleh
menumpahkan rasa sakit. Boleh juga
membenci takdir. Tapi yang harus diingat,
kamu tidak boleh membenci
dirimu sendiri.


—  L O S E  —





.






.





.





.





Ada begitu banyak hal yang tidak Skala mengerti akhir-akhir ini. Semua itu tentu berhubungan dengan sang adik, Angkasa. Tentang keanehan-keanehan sikapnya yang tak jarang membuat Skala selalu memikirkan hal-hal buruk.

Seperti tadi siang contohnya. Tanpa sebab yang jelas, Skala bisa melihat Angkasa yang tiba-tiba seperti ketakutan. Bukan hanya sekali dua kali Skala menyadari hal itu.

Seakan Angkasa memang tengah menyembunyikan sesuatu hal besar darinya. Oh, bukan hanya darinya, atau mungkin dari semua orang. Skala yakin, pasti ada sesuatu di balik itu semua.

Tapi, Skala rasa ini juga tidak akan mudah. Angkasa tak pernah mau membicarakan hal ini sebelum-sebelumnya. Tapi tidak, Skala harus mencobanya terlebih dahulu, bukan?

Dengan langkah yang pasti, Skala melangkah memasuki kamar Angkasa, dengan sang adik yang sedang berdiri di balkon kamar. Tatapannya lurus ke depan. Bahkan Angkasa seperti tidak sadar akan kehadirannya.

“Angkasa,” ucap Skala.

Cowok yang lebih muda satu tahun itu menoleh ke samping. Lantas tersenyum begitu mendapati Skala yang sudah ada di sebelahnya.

“Kenapa nggak istirahat? Udah malam Skala, lo harusnya tidur bukan keluyuran masuk ke kamar gue.”

Memang saat ini jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Jadi tak heran jika Angkasa protes pada Skala yang nyatanya saat ini belum tertidur. Padahal, Skala harusnya sangat-sangat menjaga pola tidurnya. Mengingat, Skala belum sembuh dan masih dalam masa pengobatan saat ini.

“Nggak ada yang bilang kalau ini pagi hari, Angkasa. Terus, emang kenapa kalau malam-malam gini gue mau masuk ke kamar lo? Lo nggak suka?” balas Skala.

Angkasa menghela napas, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke atas. Menatap begitu banyak hamparan bintang di langit. Yang kini terlihat begitu indah.

“Bukan gitu. Lo harusnya saat ini udah istirahat Skala. Gue nggak mau sakit.”

“Gue memang udah sakit kali, Sa,” lirihnya.

Hal itu pun rupanya sukses membuat Angkasa kembali menatap sang kakak. Ada perasaan kecewa ketika kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Skala. Tapi, Angkasa juga tahu jika hal itu memang sebuah kebenaran yang begitu menyesakkan dadanya.

“Gue nggak suka lo ngomong gitu!”

Walau kasar, tapi kalimat itu sama sekali tak melunturkan senyum di wajah Skala. Cowok itu justru merangkul pundak sang adik dengan riangnya. 

“Lo tahu, Sa? Ada beberapa hal di dunia ini yang pasti kita benci. Dan ada hal-hal lain juga yang pasti kita senangi.”

Walau tak tahu ke mana arah pembicaraan Skala, Angkasa tetap mengangguk samar seolah membenarkan perkataan sang kakak.

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang