25. Sebuah Keegoisan Demi Kebahagiaan

1.5K 211 78
                                    

Happy reading .....

Mengorbankan banyak hal untuk satu orang,
memang terdengar egois. Tapi percayalah,
itulah salah satu rasa kasih sayang
yang tak ternilai harganya.



—   L O S E   —



.






.







.






.
















“Kamu udah bangun, Nak?”

Pagi ini secara tiba-tiba Sena dikejutkan oleh papanya yang kini sudah ada di kamar rawatnya. Bram tersenyum hangat di sana. Sedang, Sena masih mengerjapkan matanya berkali-kali guna memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.

Setelah beberapa detik berlalu, ternyata memang tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Hal itu lantas membuat Sena bangkit dan terduduk, masih dengan menatap lekat sang ayah.

“Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mau Papa pinggilin dokter?” tanyanya lagi.

Pertanyaan itu tak mendapatkan jawaban berarti dari Sena. Kedua mata bulat itu justru berkaca-kaca dan ketika Bram ingin menarik Sena ke dalam dekapannya, cowok itu menepisnya dengan cepat.

Bram tentu sedikit terkejut dengan hal itu. Mendapat penolakan dari putranya sendiri tentu membuat ia bertanya-tanya dalam hati. Hal apa yang agaknya membuat Sena seperti mau menghindar darinya?

“Kamu kenapa, hm?”

“Papa juga bohongin aku, ‘kan?” tanya Sena yang terdengar begitu ambigu di telinga Bram.

Lantas, pria paruh baya itu menghela napas dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang. “Papa nggak tahu apa yang kamu maksud.”

Mendapatkan jawaban seperti itu semakin membuat Sena menatap kecewa pada sang ayah.

“Aku, Sena ‘kan, Pa? Arsena Farenzo Bramanta,” ucapnya kemudian.

Bram mengangguk. “Iya kamu Sena anak Papa.”

Ia sungguh tak tahu mengapa papanya bisa sangat percaya diri saat mengatakan hal itu. Atau, Nata belum berkata apa-apa tentangnya?

Cowok itu terkekeh pelan, mengusap air matanya yang dengan kurang ajar jatuh begitu saja dengan kasar. “Kalau aku memang Sena, kenapa hanya ingatan tentang Angkasa yang aku ingat?”

Deg.

“K–kamu bisa ingat semuanya sekarang?” Bram sedikit terbata saat mengatakan tanya itu. Jujur, ia begitu terkejut jika sang putra bisa mengingat kembali.

“Aku Sena ‘kan, Pa? Bukan Angkasa?” Tapi bukan menjawab pertanyaan Bram sebelumnya, Sena justru kembali melontarkan kalimat yang sama seperti tadi.

“Pa, jawab! Aku Sena ‘kan, Pa?” desak cowok itu. Sena meremat selimutnya hingga kusut. Ia gelisah kala sang ayah tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Pria paruh baya itu lantas menggenggam paksa telapak tangan sang putra. “Mau Sena atau pun Angkasa, kamu tetap anak Papa.”

Otomatis Sena menarik tangannya, menatap tak percaya pada Bram. “Ternyata semuanya bohongin aku, ya.” Sena mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Kenapa, Pa? Kenapa semuanya harus bohong kaya gini?”

L O S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang