Bagian 12

13 2 0
                                    


Aby terus mengejarku, menyejajari langkahnya dengan langkah kakiku. “Kamu kenapa sih hari ini?”

Aku terus berjalan di lorong dan memilih mengabaikan Aby. Tiba di depan pintu lokerku dan membukanya, aku ingin mengambil ransel milikku. Namun dari belakangku, Aby menutup pintu loker dengan kasar.

“Ada apa?” Meskipun napasnya masih tersengal setelah pertandingan voli dan mengejarku, Aby tetap menunjukkan tekad di matanya untuk mendapatkan jawaban dariku. “Kalian marahan?”

Aku menggeleng, menggeser tubuh Aby yang menghalangi pintu lokerku. “Ceritanya nanti saja di asrama. Mood aku sedang buruk.” Mengambil ransel dan mengunci loker, aku meninggalkan Aby di sana yang mendecak kesal.

Langkahku berhenti begitu berpapasan dengan orang yang sedang aku hindari. Kami saling tatap sejenak, tidak ada kalimat yang keluar. Pada akhirnya aku berjalan mendahului mereka.

“Eh, kamu mau kemana?” Ares bertanya. “Ini masih jam sekolah!”

Aku tidak mempedulikannya. Terus berjalan di sepanjang lorong dan melewati lapangan rumput, memasuki gerbang asrama. Kakiku menuntun masuk melewati lobi depan dan berjalan ke dalam lift, menekan tombol 3. Dilantai 3, aku langsung masuk ke dalam kamarku, melempar tas dan sepatu sembarang.

Tadi siang, begitu aku mendapatkan foto itu aku langsung pergi dari perpustakaan dan Kembali ke aula olahraga indoor di sekolah. Saat itu pertandingan voli kelasku baru saja selesai. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya, karena mau kalah ataupun menang, sorakan penonton di tribun tetap menjadi milik kelasku.

Ketika melihat aku berjalan mendekat, Aby langsung menghampiriku dengan senyum di wajahnya. Di belakangnya menyusul Ares dan June.

“Kami menang,” Aby menyambutku dengan tawa, padahal mereka masih harus lanjut bertanding di babak penyisihan hingga final.

Begitu Ares dan June datang dan menyampaikan kabar yang sama, aku melihat June membawa botol minumku dan handuk kecil milikku di lehernya. “Siapa yang mengizinkan kamu minum air punyaku?”

Tidak tahu kenapa saat itu aku merasa sangat marah. Padahal tadi pagi aku memang sengaja membawa dua benda tersebut jika June akan membutuhkannya nanti.

Aby menyentuh tanganku, tatapannya sedikit merasa bersalah bercampur bingung. “Itu aku. Aku kira kamu sengaja membawanya untuk diberikan June. Biasanya kamu selalu seperti itu saat jam olahraga.”

Mendengar pernyataan Aby yang sepenuhnya benar membuatku justru semakin meradang. “Tapi tetap saja membutuhkan ijin dariku.”

Beberapa siswa yang berada di dekat kami mulai berkumpul dan memperhatikan kami. Itu membuatku semakin tidak nyaman dan aku meninggalkan mereka.

“Ada apa dengan dia?” aku masih bisa mendengar suara Ares bergumam.

Aku tahu Aby, Ares, maupun June tidak salah. Karena sudah kubilang aku membawanya sengaja untuk June, tapi entah kenapa aku bisa bersikap demikian. Terakhir yang aku ingat adalah tatapan bingung milik June. Pada akhirnya, sekarang aku hanya mampu menatap langit-langit kamar dan mencari jawaban ke dalam diriku sendiri apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.

Lamunanku terhenti begitu terdengar suara nada dering yang samar. Aku merogoh isi ranselku untuk mencari ponsel. Begitu ketemu, panggilan ternyata dari Mama membuat tubuhku reflek duduk dengan tegak.

“Halo, Nak. Bagaimana kabar kamu?” Suara Mama tampak menyenangkan dalam pendengaranku.

“Aku baik, Ma. Mama apa kabar di sana?”

Terdengar suara tawa pelan Mama. “Baik, dan akan jadi lebih baik lagi setelah kita bertemu nanti saat kamu mulai libur.”

Itu terdengar seperti kabar baik pertama yang aku dengar akhir-akhir ini. “Liburan ini Mama ada di rumah?” aku tidak bisa menutupi betapa antusias aku menunggu jawaban Mama. Bagaimanapun juga, hal itu merupakan harapanku yang jarang sekali dilakukan oleh Mama.

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang