"Dokter bilang besok sore kamu baru bisa pulang." Punggung lenganku yang tidak terpasang infus terus saja di elus pelan oleh Aby, wajahnya yang murung tampak lebih kusut lagi kini. "Tapi sayang sekali aku sama Ares harus balik ke asrama. Kita tidak bisa menemani kamu sampai kamu pulang."Aku memberikan seulas senyuman pada Aby. "Aku cuma butuh istirahat, Aby."
Ares yang duduk di sofa pojok ruangan tampak melirik jam tangannya, kemudian ia mendongak menatap kami. "Sebentar lagi kita harus pulang." Ia berdiri, mendekat. "Jaga diri baik-baik."
Mereka berdua masih menemani hingga beberapa menit lagi sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan aku sendirian di ruangan yang serba putih ini.
Aku menghela napas pelan, menatap atap putih rumah sakit ini. Menatap kedua tanganku, untung saja kulitku tidak sampai luka atau melepuh. Atau aku bisa tambah stres memikirkan bagaimana menghilangkan bekasnya.
Aku jadi tertawa pelan memikirkannya.
Ternyata dalam situasi seperti ini aku masih saja lebih mementingkan penampilan. Aku tertawa tanpa suara, menertawakan diri sendiri. Mungkin petugas CCTV yang melihatku bisa saja menganggap aku gila.
Tapi tidak apa-apa. Nikmati waktu istirahatmu, Iliana. Aku mengingatkan diriku. Lusa akan datang hari-hari yang penuh dengan tekanan.
Sore datang dengan cepat, berganti malam.
Seorang dokter datang untuk memeriksa. Saat itu baru pukul delapan malam. Katanya, pemeriksaan terakhir dihari itu.
"Kapan saya bisa pulang?" aku iseng bertanya, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
Dokter perempuan tersebut memberikan jawaban yang sama dengan pernyataan Aby. Terakhir ia memeriksa selang infusan, kemudian menatap ke arahku. "Apa kamu sudah tahu bagaimana kondisi tubuhmu?"
Aku memalingkan kepala, sedikit bingung. "Saya baik-baik saja, kan?"
Ia tersenyum kemudian menggeleng. "Kelainan yang ada pada tubuh kamu. Alergi." Dokter wanita itu menjelaskan lebih lanjut. "Harusnya kamu tidak terpapar sinar matahari terlalu lama."
Dokter tersebut terdiam sesaat untuk menuliskan sesuatu pada papan tulis di tangannya. Ia kembali menatapku, "Apa pihak sekolah tahu?"
Aku menggeleng.
"Yah, ambil hikmah baiknya dari kejadian ini." Ia tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Setelah ini sekolah tidak akan memberikan kamu hukuman dijemur di lapangan lagi. Setidaknya kamu tidak akan menderita lagi karena porfiria kulit seperti ini."
"Terimakasih, dokter." Suaraku terdengar serak dan lemah.
Dokter itu mengangkat bahu, "Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Sampai ketemu besok pagi, Iliana."
*****
Pagi datang menyambut, cahaya matahari bahkan menembus melewati celah-celah jendela yang masih tertutup oleh gorden. Kesadaranku sepenuhnya pulih saat mendengar suara langkah kaki memasuki ruangan. Yang datang adalah seorang perawat, membuka gorden agar cahaya matahari pagi masuk tanpa halangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ILY, Iliana
Romance(vote dari kalian buat aku semangat menulis) Kenyataannya, dia berbohong. Tapi aku tahu itu bukan salahnya. Karena nyatanya, aku hanyalah salah satu figuran dalam hidupnya.~ Namaku, Iliana. Aku sama seperti kalian yang menggemari seseorang terkenal...