Bagian 24

10 1 0
                                    

"Apa yang kamu lakukan Iliana?" Seorang guru datang menghampiri, "Hukuman kamu masih belum selesai!"

Ia berdiri di depanku. Sebagai sopan santun, aku segera berdiri, menyejajari tinggi kami. Menghentikan sejenak kegiatanku yang sedang mengusap dada karena sebelumnya merasakan sesak. Aku tidak boleh sampai tumbang!

"Maaf, Pak. Saya tahu." Aku menghela napas, tidak pernah terbayang akan sampai sesulit ini saat bicara. "Tapi-"

"Kembali ke lapangan!" Guru BK tersebut menunjuk tengah lapangan yang sedang terik-teriknya di bawah sinar matahari.

"Maaf, Pak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa." Aku menggeleng. "Tapi saya bisa menjalankan hukuman yang lain."

Guru BK tersebut terlihat marah. Matanya sudah tampak berkilat. "Siswa kurang ajar! Apa ibu kamu tidak mengajari kamu sopan santun? Jalani hukuman yang diberikan, jangan manja!"

"Lalu apa yang bapak lakukan saat semua siswa justru sibuk menonton saya? Apa bapak sekarang menertibkan mereka? Dimana para guru yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk mengajar mereka?" guru tersebut tampak bungkam. Ia melihat sekeliling dan hampir seluruh siswa berada di luar kelas.

Aku terdiam, menghela napas. Aku kesulitan bernapas, kembali mengusap-usap dadaku. Sesak, nyeri di dada dan menyengat di kulitku. "Hukuman ini membunuh saya." Aku mengangkat kedua tanganku yang sudah timbul ruam merah, juga menunjuk wajahku. "Bapak, lihat. Apa ini terlihat baik-baik saja? Haruskah saya terus melanjutkan hukuman sementara saya sudah merasakan perih? Apakah ketika nanti saya pingsan, sesak nafas, melepuh hingga sekujur tubuh tidak merepotkan pihak sekolah? Kemudian muncul artikel 'seorang siswa penderita sun rashes mati karena dihukum di tengah lapangan'."

Kakiku goyah, sesak nafas itu kembali menyerangku. Aku jatuh terduduk di tanah. "Tahun ajaran baru, sekolah bisa mendapatkan ribuan murid baru. Tapi nyawa saya hanya ada satu. Hanya saya yang dimiliki oleh ibu saya."

Rahang guru BK itu mengeras. Namun hanya itu yang aku ingat sebelum seluruh kesadaranku direnggut.

*****

Dua hari lalu, hari pertama tahun ajaran baru. Hari pertama aku menjalani hari sebagai siswa kelas 11. Bukankah itu hal yang menyenangkan? Pagi-pagi sekali, hariku berjalan seperti seharusnya. Bersiap-siap, sarapan di aula makan, bertukar sapa dan kabar dengan beberapa teman, bercanda. Ketika bel berbunyi, masuk kelas. Memulai perkenalan dengan beberapa guru sebagai wali kelas kami yang baru, mendapat jadwal belajar baru, mempelajari materi apa saja yang akan kami terima nanti. Kami bahkan melepas kepergian kepala sekolah di gerbang pagi itu.

Hari pertama di tahun ajaran baru. Harusnya menyenangkan, karena belum ada mata pelajaran yang diberikan kepada kami. Pulang sekolah lebih awal daripada biasanya.

Pada awalnya, semua berjalan seperti seharusnya.

Seperti biasa, aku selalu mampir ke perpustakaan untuk menyiapkan tahun ajaran baru, mencari buku paket, meminjamnya. Aku menemukan beberapa, beralih ke lorong rak pelajaran fisika. Ada seseorang berdiri di sana, sedang membaca buku.

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang