Bagian 27

7 1 0
                                    


S

etiap langkah kakiku seolah menjerat leher dengan tali tak kasat mata. Seluruh mata orang-orang yang berpapasan denganku menambah tekanan pada beban di bahuku. Mereka bahkan menjauh dari jalan yang aku lalui, seakan-akan aku datang membawa virus dalam genggamamku.

Wah, aku sekarang sudah sangat terkenal ternyata. Meskipun dalam kenyataannya itu buruk.

Tidak ada tempat yang lebih baik daripada perpustakaan dalam kondisi seperti ini. Berhari-hari aku harus rela menahan lapar demi tidak terusik selama di sekolah. Jam istirahat selalu menjadi waktu terbaik untuk perpustakaan. Dimana saat seluruh siswa pasti lebih sibuk mengantre makanan daripada memilih untuk membaca buku.

Aku berjalan mengelilingi deretan rak buku. Memilih beberapa buku untuk dibaca. Tapi sesuatu mengalihkan perhatianku ketika mendengar suara obrolan.

Naluriku mengatakan aku harus mendekat, meskipun aku tidak berniat untuk menguping.

“Soal itu, aku turut bersedih atas kebakaran rumah kamu,” suara perempuan menyentuh telingaku.

Beberapa buku di rak aku ambil agar bisa melihat siapa dua orang tersebut. Ada satu lagi rak buku yang menghalangi pandangku. Tapi untungnya buku-buku di rak tersebut tidak terlalu padat membuatku dapat melihat siapa saja orang yang ada di perpustakaan selain diriku.

Tidak ada balasan dari lawan bicara perempuan tersebut yang sayangnya tidak begitu terlihat jelas wajahnya. Tapi perempuan itu tidak mengenakan seragam sekolah. Si pria yang mengenakan seragam, dengan kulit putihnya yang sangat mencolok membuat wajahnya yang merah padam tampak begitu jelas dengan rahangnya yang mengeras. Dia seperti sedang menahan emosi.

“Aku dengar, kamu akan pindah kelas hari ini.” Si wanita kembali bersuara, ia kemudian terdengar tertawa pelan. Suara khas yang angkuh, yang sayangnya aku hanya mmengenal hanya dua orang angkuh di sini. “Berhenti bermain-main. Kamu bahkan lebih tua dari umurku.”

Tidak ada balasan. Tapi beberapa detik selanjutnya terdengar suara ketukan sepatu hak tinggi di lantai. Aku bergegas menyembunyikan diri, sambil sesekali mengintip.

Rania muncul, berjalan bak model dengan ekspresi kemenangan di wajahnya. Entah apa yang membuatnya begitu senang. Tapi untung saja dia tidak melihatku.

Aku menghela napas lega. Tapi itu tidak berlangsung lama saat tahu lawan bicara Rania sedang menatap tepat di manik mataku.

Sempat aku berpikir untuk segera melarikan diri dari orang yang saat ini paling tidak ingin aku temui. Namun ternyata justru ia yang pergi meninggalkan aku sendirian di perpustakaan.

Ada perasaan sedih seolah aku baru saja ditinggalkan. Walaupun kenyataannya aku yang saat ini berubah sangat membenci dirinya. Bahkan aku benci ketika mendengar namanya.

Perasaan ini menjadi asing, yang sayangnya selalu membuatku mudah untuk mengubah suasana hatiku menjadi suram. Kami sangat asing, seolah tidak pernah tidur dibalik selimut yang sama. Meskipun sesungguhnya akulah yang menciptakan jarak tersebut.

Keinginan untuk membaca buku sudah hilang bersama perginya June dari perpustakaan. Aku membawa langkah kakiku menuju kelas. Beberapa siswa sudah tampak kembali dari aula makan.

Bisik-bisik mencemooh yang ditujukan padaku tidak mampu mereka keluarkan dengan suara pelan. Hal itu sangat menusuk gendang telingaku.

Tepat di ambang pintu kelas, aku kembali ditakdirkan untuk berpapasan dengan June. Ia menatapku. Wajahnya datar seolah ia tidak mengenalku.

Aku mendengus, membuang wajah darinya walaupun di balik tubuh ini detak jantungku berdegup lebih cepat.

“Iliana!” Itu suara Aby, yang berhasil mengalihkan atensiku dari perasaan dan pikiranku yang kacau.

Aku berjalan mendekati mejanya, duduk di depan Aby dengan wajah penuh tanda tanya begitu aku melihat sesuatu yang tidak biasa ada di mejanya.

“Kamu harus makan,” ia mendorong pelan nampan berisi makanan padaku. Itu pasti menu makan siang di aula tadi. Tapi bukannya kami hanya boleh makan di aula saja? Dalam kata lain, makanan tidak boleh di bawa kemanapun kecuali keadaan darurat seperti siswa yang sakit. Itupun kami dibolehkan membawanya hanya ke kamar asrama.

Aby kembali berkata seolah bisa membaca pikiranku, “Pertanyaannya disimpan buat nanti. Sekarang makan dulu sebelum bel masuk. Ayo, cepat!”

Meskipun enggan, aku tetap memakannya di bawah tatapan sinis teman-teman sekelas. Apalagi alasannya selain lapar? Di sekolah ini bahkan sulit untuk memesan makanan online karena terlalu jauh dari pemukiman.

“Kamu tahu? June pindah ke kelasnya Tamara.” Aby mengatakan hal tersebut dengan wajah yang begitu serius, seolah kami akan membahas tentang hutang negara.

“Ya! Mentang-mentang dia kerabat kepala sekolah seenaknya pindah kelas,” aku menimpali sambil mengunyah suapan besar.

Aby tampak terkejut, meminta aku untuk mengulang kalimat sebelumnya.

Aku mendesis kesal. Aku tahu mana mungkin Aby mendadak tuli saat ini. “Tidak ada!” aku menyahut. Makanan di nampan sudah habis. Aku mendorongnya kembali ke Aby.

“Enak saja! Kembalikan sendiri. Aku ‘kan sudah bawain.”

Aku mendengus meskipun tetap membawa pergi nampan bekas makan tadi. Ruang aula makan sedang dibersihkan saat aku tiba. Berjalan melewati beberapa staf yang sedang mengelap meja.

Aku tidak lama di sana, hanya mengembalikan nampan kemudian bergegas kembali. Sempat melirik jam tangan, sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi. Masih ada waktu untuk mengambil beberapa buku di loker supaya saat ganti jam pelajaran tidak perlu keluar kelas lagi.

Lorong sekolah sudah mulai sepi, hanya ada satu-dua siswa yang masih berada di luar kelas.

Di depan, lorong dengan barisan loker siswa di sisi dinding sudah tampak. Ada seorang siswa di sana. Aku berjalan semakin dekat, menyipitkan mataku. Dia membelakangiku. Meskipun begitu, dari warna kulitnya aku sudah tahu siapa orang tersebut. Tapi apa yang sedang dia lakukan di depan loker milikku?

Berusaha mempercepat langkah tanpa suara adalah hal yang sangat sulit. Pada akhirnya aku tetap menimbulkan suara berisik. Itu membuat June menoleh ke arahku.

Aku terdiam membeku begitu melihat tatapan tanpa ekspresi darinya.

Begitu dia sadar aku berada di sana, tangannya langsung memasukkan selembar kertas ke dalam sakunya dan pergi dari sana. Sementara dari arah lawan, Aby muncul. Mereka sempat saling pandang sesaat sebelum Aby menangkap kehadiranku di sana.

Pintu loker segera aku buka. Aku membeku di tempat.

“BAJINGAN!” Mataku panas, sama seperti yang aku rasakan di kepalaku. Kata bajingan saja tidak cukup untuk menggambarkan bagaimana brengseknya pria bernama June. Aku-sangat-membencinya! Bahkan meskipun rupa wajahnya mirip dengan siapapun itu, aku tetap akan membencinya.

Sialan! Aku benci menangis karena dirinya.

“Ada apa?” Aby berlari kecil mendekat.

Aku bahkan tidak mampu untuk menjawab Aby. Tapi mata Aby masih berfungsi untuk melihat hal yang tidak seharusnya ada di dalam lokerku.

Ia langsung mengambil kertas dengan tulisan ‘Wanita Jalang’ dengan tinta merah dan meremasnya sebelum membuangnya ke sembarang arah.

“Jangan dipikirkan,” ia memelukku dari samping.

Bagaimana caraku memaksa kepalaku berhenti berpikir, sedangkan yang menaruh kertas tersebut di sana adalah orang yang menyebabkan aku terjebak dalam lubang fitnah?

Seluruh sekolah membenciku.

Seluruh sekolah merundungku.

Pelakunya juga berperan sebagai orang jahat dalam cerita hidupku.

June, kamu harus tahu kamu adalah peran antagonis dalam ceritaku.

==========

Tidak ada tulisan untuk update kali ini :)

ILY, IlianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang